Bab 1

212 7 2
                                        

Bab 1.

Kamar berukuran 3x4 itu terlihat rapi, jendela besar terbuka menyajikan pemandangan indah pekarangan yang rimbun. Pohon rambutan, mangga dan sawo menjadi pelindung kamar itu dari teriknya mentari yang sinarnya mencoba menerobos rerimbunan daun yang berkerumun. Semilir angin sejuk berhembus masuk ke dalam kamar yang di dominasi warna pink. Lemari kaca minimalis memperlihatkan susunan berbagai boneka yang bersebelahan dengan lemari kayu tempat berbagai pakaian anak tertata rapi. Meja belajar dengan bangku kayu berada di bawah jendela. Suasana kamar yang sejuk itu tidak mampu membawa kebahagaian pada seorang gadis kecil yang tergeletak lemah di atas kasurnya. Terlihat sebuah kain basah menempel di jidatnya sebagai peng-kompres kepalanya yang bersuhu 39° C. Badan mungilnya terbalut selimut tebal untuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Matanya terpejam tapi suara isakan tangis tidak pernah berhenti dari mulutnya.

Seorang ibu tua duduk di sebelah gadis kecil itu, ditemani seorang lelaki tua yang berbadan tegap.

"Ssssttttt..ssssttt.."

Nenek itu begitu sabar dan telaten merawat cucunya. Bahkan beliau rela meninggalkan rumahnya berpindah ke rumah ini untuk menemani cucu kecilnya yang sedang sakit.

Sang kakek terlihat gelisah, kakinya tidak tenang berjalan ke sana ke mari melihat igauan dan tangisan cucu kesayangannya. Kakek itu terlihat geram,

"Anak-anak kurang ajar!" Gumam beliau, marah.

"Sabar pak, tenang dulu." Sahut istrinya dengan pelan.

"Semakin bapak marah, Bintang semakin gelisah. Redam emosi bapak agar cucu mu pun bisa tidur dengan tenang." Lanjut istrinya sambil mengajak suaminya duduk di sebelah kepala gadis kecil yang disebut Bintang.

Gadis cilik berusia sepuluh tahun itu tergeletak lemah sudah empat hari. Pertengkaran hebat yang disaksikannya membuat gadis cilik bernama Bintang Anyalani itu mengalami guncangan luar biasa pada kesehatan mental dan fisiknya.

"Bapak, Ibu, bagaimana keadaan Bintang?"

Seorang wanita berwajah cantik dengan mata lentik dan hidung tidak terlalu mancung, berkulit putih, menyeruak masuk ke dalam kamar dengan sebuah pertanyaan yang mensiratkan kekhawatiran. Wajah cantik itu terlihat kusam dan murung. Ia tidak mampu menyembunyikan kesedihan dan kekalutannya.

"Lihat apa yang sudah kalian pada anak ini!"

Geram sang kakek dengan mata merah.

"Bapak." Panggil sang nenek lembut untuk menenangkan emosi lelaki tua yang hampir saja meluap..

"Panasnya masih tinggi Wen, kita tunggu obat dari dokter ini habis dulu, kalau belum ada perubahan berarti, kita bawa ke rumah sakit." Jawab sang nenek dengan tenang.

"Maafkan saya Pak, Bu." Kata wanita cantik itu dengan terisak.

"Kalian..."

Sang kakek berhenti untuk melanjutkan kemarahannya setelah melihat lirikan mata istrinya yang teduh. Sambil menghela nafas berulang kali dan memandang ke arah luar jendela besar itu, sang kakek memejamkan mata, lalu melangkah keluar kamar.

"Kamu jagain Bintang, ganti kompresnya setiap sepuluh menit. Ibu mau mandi dan berganti baju." Perintah sang nenek lalu berjalan keluar menyusul suaminya.

"Iya Bu, terima kasih, sekali lagi saya minta maaf Bu." Isak wanita yang merupakan ibu gadis cilik itu.

"Maafkan ibu, sayang." Bisik ibunya dengan menagis tersedu memeluk kepala gadis cilik itu.

Bintang Anyalani, gadis cilik itu adalah sosok periang yang bermata jeli, dengan pipi yang menggembul. Lesung di kedua pipinya selalu muncul saat ia tersenyum dan tertawa senang sewaktu bermain dengan teman-teman sebayanya. Keceriannya bisa membawa cerah suasana hati siapapun yang melihatnya. Gadis cilik itu laksana setitik terang untuk suasana hati yang gelap bagi orang-orang di sekitarnya.

Polah tingkahnya yang lucu dan menggemaskan selalu membuat siapa pun yang melihatnya akan tersenyum menggelengkan kepala dan tertawa gembira. Bintang Anyalani, adalah putri jelita yang disukai setiap orang yang melihatnya. Dia adalah kesanyangan bagi siapapun yang mengenalnya.

Tapi sekarang, gadis ceria dan selalu bersinar itu seakan meredup. Bintang tergeletak tanpa berhenti menangis.

"Huuu...huuu..huuu.."

Tangisan itu terus menerus tergumam dari bibir kecilnya. Matanya selalu terpejam seolah enggan menyaksikan lagi dunia ini. Tangisannya seperti menunjukkan ketakutannya pada realita yang tidak sama lagi seperti sebelum ia mendengarkan bentakan-bentakan bersautan bapak dan ibu nya.

Anak sekecil itu belum siap menghadapi keegoisan kedua orang tua yang ditampakkan di depannya. Gadis cilik itu belum mampu menyiapkan mental dan fisiknya menyaksikan adu kuat perebutan siapa yang salah dan siapa yang benar diantara kedua orang tuanya. Dunia Bintang yang tadinya penuh dengan kegembiraan dan permainan berubah drastis saat kedua orang tuanya justru menampilkan kebalikannya. Perang emosional kedua orang tua di hadapannya jelas bukan sesuatu yang bisa dimakluminya.

Sebagai seorang anak kecil, Bintang tidak peduli dengan siapa yang benar dan siapa yang salah, ia tidak peduli dengan kesulitan dan problematika kedua orang tuanya. Yang ia pedulikan dan butuhkan adalah curahan perhatian dan kasih sayang dari mereka berdua. Ia tidak ingin mendapatkan hanya satu pihak, tapi ia ingin memperoleh itu dari kedua pihak.

Bukan percekcokan yang ingin ia saksikan dari bapak dan ibunya. Bukan suara saling bentak yang ingin dia dengarkan dari kedua orang tuanya. Bintang hanyalah seorang gadis kecil yang butuh pelukan perlindungan dan bisikan yang menenangkannya.

Tapi, kenyataan hidup memang tidak selalu sesuai harapan. Dan apa yang terjadi padanya saat ini adalah sebuah kenyataan yang harus gadis kecil itu hadapi.

"Ibu..huu..huuu..huuu.."

Mata jelita itu terbuka, dengan berkaca-kaca ia mencoba memandang sekitarnya, mencari sosok yang dianggapnya pelindung, penyayang, dan penyemangatnya. Sang Ibu.

"Bintang, alhamdulilah.."

Wajah wanita itu langsung berubah sedikit cerah mendengar panggilan anak semata wayangnya. Ia pun menciumi seluruh wajah gadis cilik itu sebagai wujud syukur atas kesadaran Bintang setelah beberapa hari hanya memejamkan mata dan menangis.

Bintang memeluk erat sang ibu seakan enggan ditinggalkan. Dengan derai air mata, sang ibu terlihat menyesali akibat pertengkarannya dengan bapak nya Bintang. 

"Cup..ssstt..diam ya sayang, ibu di sini sama Bintang." Bujuk ibunya sambil mengusap lembut rambut anak kesayangannya.

Dengan memegang kedua pipi anaknya yang basah oleh air mata, sang ibu mencoba sekuat tenaga untuk menampilkan senyuman tercantiknya buat Bintang.

"Kamu lapar kan sayang?"

"Ibu buatin sop ayam kesukaan mu ya?"

Tanya sang ibu dengan semangat yang mulai bangkit.

"Enggak Bu, Bintang hanya ingin ditemani ibu. Huu..huu.huu." Jawab Bintang dengan derai air mata.

"Iya sayang, ibu selalu di sini menemani mu."

"Ssssttt...ssssttt..jangan menangis lagi sayang."

Mereka berpelukan dengan erat. Sekuat apapun sang ibu mencoba untuk menahan lelehan air dari matanya tapi tetap saja air matanya mengalir, bahkan semakin deras. Semakin matanya dipejamkan, semakin air matanya mengalir deras hingga membasahi rambut putri kesayangannya. Keduanya larut dalam kegembiraan sekaligus penyesalan.

Hilang Dalam TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang