H-25

9 4 0
                                    

Rumah?

Apa yang akan bisa dijawab jika ada yang mempertanyakan bagaimana rumah mu?

Beberapa di luar sana menjawab dengan "baik, harmonis, bahagia, senang, ramai, candaan, tawaan". Beberapa lainnya tidak dapat menahan diri dari mulai menceritakan kisah-kisah konyol. Dan sisanya akan enggan menjawab.

Lalu Dara berada di kategori yang mana? Sejujurnya, dari awal juga tidak ada yang pernah bertanya bagaimana keluarganya. Kemungkinan terbesar, bila dia dihadapkan dengan pertanyaan tadi, Dara hanya akan diam memasang muka bingung. 

Namun bila dipikirkan kembali, memangnya ada jawaban yang tepat untuk itu?

Jika rumah bagi Dara bukan lagi tempat berteduh di balik hangatnya selimut. Melainkan hanya sisa dari matahari yang terbakar habis, membengkak membawa era kegelapan. Dimana setiap makhluk yang dulunya bernaung di jangkauannya terpaksa mencari pengungsian atau berhadapan dengan dinginnya kehampaan. 

Tapi bukan kehampaan yang menyelimuti rumah Dara. Dibalik setiap kesunyian yang diisi hembusan angin, selalu ada ketakutan. 

"WOI DARA MANA DUIT LO", teriak Rendy seperti kesetanan.

"Dara ga punya duit yah, maaf", jawab Dara. Matanya tidak berani menatap ayahnya. Badan yang tampak mematung, sebenarnya gemetaran. Keputusan yang salah.

"AHHH BRENGSEK" ketika Dara melihat, tangan Rendy sudah jauh menjangkau laci tepat di sebelahnya. Gelas plastik berisi seperempat air menjadi korban dari kegilaannya. 

Di bukanya laci satu persatu, seketika ada laci yang tidak bisa ia buka. Dia semakin mengobrak abrik laci itu. Dan apa yang bisa diharapkan dari kunci tua dari lemari kayu yang keropos.

Menemani ketakutan, tinggal juga dusta. 

Laci tersebut terbuka keras, bahkan hampir terlempar jatuh. Berkas-berkas dokumen di dalamnya tersentak berantakan. Di antara selipan selipan kertas, tersembunyi tumpukan warna coklat, abu, ungu dan satu atau dua hijau. Duit yang katanya Dara tidak punya ternyata ada di sana.

"INI APAAN BANGSAT, BERANI BERANINYA LO BOHONGIN AYAH LO SENDIRI?", uang yang awalnya tersembunyi di laci kini tersembunyi di lipatan kain kantung celana ayah. Rendy menampar pipi tirus Dara. 

Tamparan keras yang Dara dapatkan sehingga membuatnya terjatuh dan memohon agar uangnya dikembalikan karna ia segera menggunakannya.

"Ngga, ngga ayah ampun. Tolong jangan diambil yah, aku mau beli bunga buat bunda. Ayah, Dara mohon yah", ucap Dara yang ketakutan, meringis dan mengeluarkan air mata dengan deras. Ia memohon hingga bersujud sujud di kaki ayahnya. Tangannya gercap menahan satu kaki ayahnya.

Satu aturan tersirat yang Dara lupakan. Apapun alasannya, jangan bawa nama Bunda.  

Jambakan keras membuat kepalanya mendongak ke belakang. Matanya yang hanyalah sebatas gudang air mata lebam merah. Meski tertutup tirai air mata, Dara tau pasti bagaimana ekspresi di muka Rendy. 

plakk!

Tamparan sekali lagi buat Dara,

bukk!

dan satu buku terlempar mengenai kepalanya.

Rendy merendahkan tubuhnya untuk menatap mata Dara. Satu tangannya menarik kerah Dara, dan satu lainnya mengepal di udara. Tatapan marah adalah hal terakhir yang ia lihat sebelum matanya ia tutup erat. Siap menghadapi hantaman tepat di hidungnya.

Tetapi dibalik setiap dusta, bila anda lihat baik-baik, ada duka.

Hantaman yang ia takuti tidak pernah datang. Tangan di kerahnya perlahan melemah. Ketika matanya kembali terbuka, Rendy sudah membanting pintu kamarnya.

SAWALANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ