Prolog; Hidden Marigold

36 4 0
                                    

Lagi pula dunia tidak pantas memilikinya

Malam itu trotoar terasa lebih dingin, Kakinya yang basah tanpa alas semakin menambah kesan dingin itu. Ketika rasa marah, kecewa dan keputusasaan berhasil menguasainya, terlupakan pula kesadaran diri. Sepatu yang selalu menemaninya terlupakan tergeletak di pelataran rumahnya. Memaksa dirinya untuk berlarian tanpa arah dengan kaki telanjang. Kini, entah seberapa jauh dirinya dari rumah, dia berjalan pelan dibawah naungan rembulan dan rintikan hujan. Dimana setiap batu kecil di trotoar dapat ia rasakan di sela sela jarinya.

Malam itu jalanan tidak semeriah biasanya. Lampu yang menyala di atasnya berkedip remang-remang. Di seberang jalanan berkumpul beberapa ojek online di bawah tenda biru milik pedagang warung. Obrolan dan tawa mereka dapat terdengar jauh dari tempatnya berjalan.

Tidak banyak kendaraan yang melintas di tengah hujan. Sekali dua kali, mobil putih atau hitam akan melintas cepat. Genangan air yang mereka lewati mengguyur kakinya.

Lagi pula hanya dirinya yang menjadi saksi

Tidak sampai sepuluh langkah, Dara berhenti. Rasanya rintikan hujan yang menyerang wajahnya hanya semakin menguat. Seragam yang tidak sempat ia ganti kini basah kuyup dari segala sisi. Tetesan air jatuh mengalir di rambut hitamnya yang terurai. Sebagian dari wajahnya tertutup rambut. Sebelumnya, air mata ikut mengalir dari matanya bersamaan dengan air hujan. Namun kini, rasanya terlalu lelah, terlalu hampa untuk menangis.

Dara menatap tangannya. Sulit melihat di bawah lampu remang dan derasnya hujan, memar ungu hanya samar samar terlihat membengkak disamping bekas luka yang telah lama mengering. Dulunya memar tersebut selalu terasa membakar, menusuk saraf-saraf di tangan kecilnya. Rasa sakit yang tiada henti membuat tangannya terlalu sulit untuk digunakan. Pada saat itu Dara tidak punya pilihan lain selain tetap menggunakannya meski kesakitan. Namun kini, rasa sakit yang dulunya menghantui hampir sama sekali tidak terasa.

Perhatiannya kembali terpusat pada telapak kakinya. Pada bagaimana kerikil kerikil yang dia injak terus menusuk kaki. Bagaimana batuan kecil meninggalkan bekas di kakinya yang kebasahan. Bagaimana aliran air terus menabrak jari-jarinya.

Dan matahari enggan menyinarinya.

Setelah lama berdiri kini ia duduk termenung di sisi trotoar. Pandangannya terfokus pada tenda warung di seberang. Lampu di tenda itu tampak lebih terang dari lampu yang berdiri diatas kepalanya. Pedagang yang dengan senyum menyuguhkan pesanan mengingatkannya pada Ibu Mega tetangga sebelah. Seorang lansia yang menunggu cucunya pulang. Dara sering berbincang dengannya di taman belakang rusun. Rambut putih Ibu Mega selalu memperindah senyum tulusnya. Meski Dara tahu matanya lelah menahan tangis dan kenangan.

Kini salah satu pembeli yang menarik perhatiannya. Seorang pria paruh baya yang tampaknya dipenuhi semangat meski terlihat lelah. Alisnya mengkerut sembari tertawa kencang. Jaket ojek online berwarna hijau seragam dengan delapan pengunjung lainnya. Di tangannya, teh tawar yang dituang di gelas kaca tampak hampir habis. Obrolan yang samar-samar terdengar Dara anggap seperti pengiring di belakangnya.

Pria sebelumnya kini berhenti tertawa. Ponsel ditangannya menyinari wajahnya sedikit lebih terang. Wajahnya netral sebelum kembali tersenyum pada rekannya. Dia berdiri mengulurkan tangannya kepada penjual, membayar pesanannya. Sebelum mengangkat salah satu tangannya di udara sementara tangan lainnya merogoh saku jaketnya, tampaknya berpamitan. Diambil olehnya jas hujan yang tersimpan di bawah jok motor dan helm yang tergantung. Dengan santai ia pergi meninggalkan warung dengan motor berwarna merahnya. Matanya sekejap bertemu dengan Dara.

Dara termenung membayangkan apa yang membuat pengunjung tersebut harus pergi.

Dan suaranya terikat membisu.

SAWALAWhere stories live. Discover now