7. Siapa Pelakunya

Start from the beginning
                                    

“Aku tidak akan menyerah, Hosea karena hanya akulah yang lebih mengenalmu lebih dari siapapun. Aku tidak perlu walau kau memperalatku. Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”

Rai benar-benar salut pada J yang mencintai Derren dengan tulus. Apalagi jika diperhatikan lebih teliti. Wajah J lebih cantik daripada Astyn, mungil sekali. Mata hitamnya yang bulat dan polos menatap Derren dengan lugu.

“J,” gumam Derren—sepertinya Derren tergugah dengan perasaan J—“Bisakah kau menyelidiki latar belakang semua anggota direksi Crystal Pertama Group? Soalnya kami sudah diserang.” Sepertinya Derren memang tidak punya perasaan seperti itu.

“Serahkan padaku. Itu masalah mudah,” kata J menunjukan jempolnya. “Baiklah, aku beraksi sekarang. Sampai jumpa!”

Layar monitor menjadi gelap seketika. Derren menggaruk-garuk kepalanya dan membuat rambutnya jadi makin terlihat berantakan. “Rai, bagaimana keadaan Ayah? Apa dia baik-baik saja?” Derren akhirnya mengalihkan pandangannya pada Rai.

“Ya, bahkan sangat baik sekali,” kata Rai menatap Derren yang kembali mengalihkan pandangannya pada kertas-kertas. “Kau merindukannya juga kan?” Derren tidak menanggapi. Kesunyian itu membuat Rai menceritakan kejadian saat menemui Daris tadi siang. Deva berhenti makan es krim dan Derren menopang dagunya ketika Rai menyelesaikan ceritanya.

“Dia sudah cerita, Derren. Apa tidak sebaiknya kau mengatakan hal yang terjadi hari ini? Kejadian itu diluar dugaan. Tidak ada yang menyalahkanmu,” kata Deva hati-hati sambil melirik Rai takut-takut.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” kata Rai heran. Firasat buruk.

“Ayo, katakan!” Deva mendesak Derren. “Cepat atau lambat dia juga harus tahu kan? Kau tidak mungkin menyimpan masalah ini selamanya!”

Derren menatap Deva. Sebal.

Rai menatap Deva dan Derren secara bergantian. Menunggu penjelasan.

“Rai, sebelumnya aku minta maaf, tapi kejadian ini benar-benar diluar dugaanku,” kata Derren sibuk dengan kertasnya. Rai tidak tahu alasan Derren bersikap begitu karena tidak berani menatap matanya atau karena sibuk dengan bacaannya? Sambil menghela napas dan memperbaiki kacamatanya yang melorot, Derren menyelesaikan kalimat yang tadi dia tahan. “Ibumu diculik oleh pelaku utama kasus Ayah.”

Rai merasakan kalau otaknya macet; telinganya berdengung; badannya terasa lemas. Tidak mungkin! batinnya menjerit. Bohong! Dia pasti bohong!

“Kemungkinan besar Pelaku sudah lama mengintaimu dan mencuri kesempatan ketika kita lengah. Jujur saja kami tidak—”

“Lalu bagaimana dengan Mama?” Rai memutuskan perkataan Deva. Dia marah pada Derren dan Deva. “Mamaku tidka ada kaitannya dengan masalah ini! Apa kalian berdua mau bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada Mamaku?”

“Tenangkan dirimu, Rai,” kata Deva yang agak ketakutan melihat Rai yang tiba-tiba menjadi histeris. “Kami juga tidak menyangka kalau pelaku akan menculik Mamamu. Sampai saat ini kami yakin kalau Mamamu dalam keadaan baik. Kami juga sudah mengerahkan beberapa penyidik untuk mencari Mamamu.”

“Aku tetap tidak percaya dengan apa yang kalian lakukan!” Rai berteriak. Suaranya membuat ruangan itu bergema. “Derren, sebaiknya kau mengatakan pembelaan atau aku akan membunuhmu!” kata Rai lagi dengan berang. Tapi Derren diam saja. Dia masih tetap tenang membaca berkasnya seakan tidak terjadi apapun, dan hal itu membuat Rai semakin marah.

“Aku sudah cukup melihat tingkahmu yang cuek itu, Derren! Aku membantumu bukan untuk membahayakan nyawa Mamaku! Lihat saja, jika terjadi sesuatu pada Mama-ku, akan kupastikan kalau kau menyesal seumur hidup!”

Derren dan RaiWhere stories live. Discover now