Those Who Lost Their Voice

Start from the beginning
                                    

Penyihir itu mengambil pisau kecil dari pinggang, meraih tangan sang ratu dan menyayatnya. Menarik permaisuri mendekati kuali, si penyihir membiarkan darahnya menetes.

"Rakyat dan tahtaku bukan hal yang bisa kuberikan," sang ratu meringis.

"Sangat disayangkan," sang penyihir menggeleng. Jemarinya menuangkan larutan dari kuali ke dalam sebuah botol silinder dan menyodorkannya pada sang ratu. "Tiga hari dari sekarang, dia akan menunggumu. Teluk terdalam, terdingin, dan tergelap di Elatian. Lemparkanlah, sumber kebahagiaanmu dan tentu dengan harga yang pantas."

"Dia?" tanya sang ratu.

"Dia yang akan menjawab semua pertanyaanmu," tanggap si penyihir tanpa memperjelas apapun.

"Dia yang akan menjawab semua pertanyaanmu," tanggap si penyihir tanpa memperjelas apapun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cerita dari Hira sang Janda tentu tidak berhenti di situ. Anak asuhnya sudah berkumpul semua, lima belas anak lebih tepatnya. Dengan baju serba-putih mereka duduk mengitari perempuan itu menanti kelanjutannya. Meski sudah puluhan kali cerita ini diutarakan, bocah-bocah itu terus mendengarkan. Bagai memahami sejarah yang tak pernah diajari sekolah, mereka tahu Elatian sudah lama kandas.

"Apakah 'dia' yang menyebabkan Elatian hancur?" tanya seorang anak asuh yang lebih sering tertidur ketimbang mengikuti kisah dari Hira sang janda.

Senyum sendunya menghentikan rentetan pertanyaan bocah itu. Lisannya begitu pelan menceritakan perjalanan sang ratu ke teluk terdalam, terdingin, dan tergelap di Elatian. Selama sang ratu pergi, ia menyerahkan kuasanya pada tangan kanannya. Berkudalah ia, mencari sumber kebahagiaannya.

Kala itu musim semi dan dinginnya musim dingin masih tersisa di udara. Anginnya menerpa pipi sang ratu yang kemerahan, mulutnya menganga menatap luasnya hamparan biru dari pinggir tebing. Teluk terdalam, terdingin, dan tergelap Elatian tak bisa diakses dengan berjalan kaki. Namun kau bisa melihatnya dari tempat sang ratu berdiri. Begitu kecil dan gelap; menggoda sang ratu untuk terjun bebas menghantam permukaan lautnya.

Tarikan napas panjang menghentikan langkahnya, membawanya pada nalar. Seperti anjuran si penyihir, sang ratu melemparkan botol berisi larutan itu ke teluk. Alam tak menanggapi selama hampir sepuluh menit, dia yang menanti pun tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

Hingga deburan ombak meninggi dan langit menggelapkan warna, dan angin membawanya mendekati tepi tebing. Dari balik ombak dia menunjukkan dirinya. Tentu saja bukan dewa, apa lagi Sosok Agung yang menghuni surga.

Ular raksasa menunjukkan sosoknya, bersisik sehitam obsidian dengan sirip semengkilat lazuli. Cipratan air bagai hujan, membanjiri sang ratu yang jantungnya terasa nyaris copot. Menungganginya, dia, sang penguasa Naraka datang dari dunia bawah sana; menyambut sang ratu dengan senyum terlebar yang ia pernah lihat.

Tak perlu Hira sang janda menjelaskan sosoknya. Satu jentikan jari, keajaiban sang penguasa Naraka bisa mencabut nyawa. Namun, sang ratu tak menyangka bahwa dia-lah yang menunggunya.

The Book of Love and WanderWhere stories live. Discover now