HUTAN TERLARANG [06]

69 11 4
                                    

Di dalam kantong keresek besar berwarna hitam menyengat bau tak sedap. Banyak sekali lalat hijau yang berdatangan.

Aku tidak sanggup membukanya, mendekat saja rasanya sudah tidak kuat.

Sebelum pergi meninggalkan tempat kotor ini, tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu.
Tepat di depan kantong keresek hitam, setelah mataku mengarah ke bawah, aku langsung berlari cepat menjauh dan segera kembali menemui Deta dan Sisil.

[Telinga manusia]

Ya, telinga manusia yang penuh dengan darah segar. Itulah sesuatu yang baru saja ku injak. Spontan aku langsung ketakutan. Ternyata bau anyir ini berasal dari darah manusia. Kakek itu adalah psikopat!

***

"Ada apa, kok kamu kaya ketakutan gitu sih Han?" Sisil mendekat, aku belum bisa mengeluarkan suara jelas karena tersendat-sendat. Seluruh badanku gemetar, dingin sekali.

"Kamu kenapa Han, cerita." Kata Deta ikut panik.

Belum sempat ku jawab, sang kakek masuk membawa kayu yang hendak ia simpan ke belakang.

"Sini kek, biar Deta bantu!"

Deta mendekati kakek, tetapi kakek menolak nya.

"Tidak apa-apa, Deta bantu ya!" paksa nya. Kakek terus saja berjalan ke belakang dengan wajah kaku, tanpa menghiraukan tawaran Deta.

Aku langsung menarik tangan Deta dan memintanya agar tetap disini. Mereka saling memandang, terlebih lagi dengan Sisil yang heran dengan tingkah anehku.

"Deta, Sisil. Ayo kita keluar dari rumah ini." paksaku menarik tangan mereka tiba-tiba.

"Eh sebentar, kakek itu kan udah janji mau nganter kita ke perkampungan bawah. Masa kita malah keluar tanpa izin? padahal kita tadi di kasih makan banyak, gratis pula. Lalu dimana etika kita, perut udah kenyang, terus pergi gitu aja." jawab Deta.

Aku memejamkan mata sejenak agar bisa lebih tenang dan menjelaskan apa yang baru saja kulihat. Dari mulai baju yang menumpuk dan berserakan hingga telinga manusia yang penuh dengan darah.

"Jadi kakek itu psikopat?" Sisil langsung menciut.

"Bisa jadi! aku nggak mau kita jadi korban selanjutnya. Ayo cepet pergi dari sini sebelum kakek itu datang!" Deta menarik tanganku dan Sisil segera.

Kami sudah keluar dari rumah si kakek. Sejak keluarnya kami, mungkin kakek tidak menyadarinya karena masih sibuk menata kayu di belakang rumah. Tanpa waktu lama, kami langsung berlari cepat meninggalkan rumah kakek itu.

"Det, HP ku ilang!" Sisil begitu panik ketika mengecek tas kecil yang selalu ia bawa, padahal jelas-jelas dia tidak mengeluarkan ponselnya apalagi memainkan ponsel.

"Mungkin jatuh disana, coba cek lagi!" kataku.

"Udah di cek, tapi ngga ada Han. Tas ku juga kebuka, apa mungkin jatuh di rumah kakek itu?" jawabnya.

"Kalopun iya, nggak mungkin kita kembali lagi ke rumah itu, kita harus cepat pergi dari sini." Deta menyeru.

"Udah lah, relakan aja. Soal HP kita bisa beli lagi, kalo soal nyawa? itu yang paling utama kita pikirkan!" sambung ku.

"Iya, aku juga nggak mau balik lagi kesana. Ayo kita lanjut jalan, soal HP udah jadi nomor dua, sekarang yang paling penting kita bisa pulang." jawab Sisil.

"Iya! nanti kalo udah ada sinyal masuk, langsung beri kabar keluarga. Setidaknya kirim pesan dan share lokasi ke mereka!" imbuh Deta.

***

Setelah situasi aman, kami baru bisa berhenti mengatur nafas yang sudah tidak beraturan.

"Sampai kapan kita terus berputar begini? lagi dan lagi tempat ini sama seperti tempat sebelumnya!" tangisku pecah seketika, lelah sekali.

Rasa takut semakin besar, aku trauma dengan keadaan. Aku sangat lelah, rasa sesal tidak bisa mengembalikan semuanya. Aku tidak mengerti, bagaimana caranya agar kami bisa keluar dari tempat misterius ini. Andai saja, kami semua tidak kemari, pasti semuanya akan baik-baik saja. Kami masih bisa bersenang-senang, berkumpul dengan keluarga, menjalani aktifitas seperti biasanya dan yang paling penting kita tidak mungkin berpisah seperti ini.

Bagaimana kabar Wisnu dan Ratna, apa dia sudah sampai ke rumah? apa mereka sudah memberi kabar kepada keluarga, bahwa kami masih terjebak di tempat aneh ini?

"Ini semua gara-gara Wisnu!" teriak Sisil penuh amarah.

"Gara-gara dia, kita tidak bisa pulang!" sambungnya.

"Lebih baik kita usaha lagi sama-sama, menyalahkan Wisnu pun percuma, aku benar-benar udah lelah." jawabku mengusap air mata.

"Andai kamu tau Han, Wisnu mencuri sesuatu di dalam gua!"

"Mencuri?"

"Iya, setelah benda itu di dapatkan nya, baru lah dia minta kita semua keluar. Ternyata setelah keluar dari dalam goa, kita tersesat." jelas Sisil.

"Apa? kenapa kamu baru cerita sekarang Sil?"

"Aku nggak tau Det, setelah kamu dan Wisnu bertengkar, dia baru memberitahuku, mungkin mereka sudah pulang ke rumah dan lupain kita bertiga disini!" lanjutnya.

"Sesuatu apa yang dia ambil?" tanyaku.

"Aku tidak tau pasti, Wisnu sempat menawarkan akan membagi penjualan benda itu menjadi tiga bagian, tanpa memperlihatkan benda yang di curi nya. Aku hanya di kasih paham tentang mesin waktu masa lalu dan masa depan. Mungkin harganya mencapai triliunan, karena benda itu sangat berharga dan tidak semua orang bisa melihat benda tersebut."

"Ya sudah, biarkan. Yang harus kita pikirkan, kita harus tetap semangat selamat sampai tujuan!" bijak Deta.

***

"Kalian mau kemana, bukankah aku telah berjanji akan mengantarkan kalian?" ucap kakek tiba-tiba muncul dari balik pohon.

Kami semua terkejut, spontan kami berlari menjauh. ini bahaya! ternyata kakek itu bukan sembarang kakek, dia bisa menghilang dan muncul kembali di depan kami dalam hitungan detik.

Hingga pada akhirnya, kami terpeleset jatuh ke bawah jurang menghindari kakek tersebut. Setelah itu kami tidak mengingat apa-apa lagi. Semuanya gelap, kami benar-benar hilang kesadaran.

Akankah kami harus mati di tempat asing ini? oh Tuhan.

***

Bising sekali, sakit telinga ini mendengarnya. Mencoba membuka mata namun sulit sekali ku lakukan.
Hati ini menangis dan menjerit ketika muncul tiba-tiba sebuah kenangan bersama keluarga. Aku rindu mereka, aku sangat rindu!

"Sudah mulai sadar!" terdengar suara seseorang samar-samar.

Jari tangan mulai bisa di gerakan perlahan, bibir sudah mulai bisa merasa. Meskipun sakit dan berat sekali bagaikan daging membeku di dalam es. Pandanganku masih belum jelas, mengedipkan mata berkali-kali tetapi semuanya masih samar. Kepala perlahan ku arahkan ke kanan dan ke kiri, ternyata aku sedang berada di suatu ruangan, banyak orang di sekeliling, entah siapa mereka aku tidak tau pasti.

Aku sudah seperti bayi yang baru di lahirkan, tidak tahu apa apa dan tidak mengenal siapa-siapa.

Jangankan mengingat kejadian yang menimpaku sebelum ini, mengingat diri sendiri saja, aku tidak bisa.

***

Bersambung.

HUTAN TERLARANG [END]Where stories live. Discover now