HUTAN TERLARANG [05]

50 9 6
                                    

Semenjak berpisah mengambil jalan berbeda, kami tidak bertemu lagi dengan Wisnu dan juga Ratna.

Kami sibuk mencari jalan pulang, biarlah kalau nanti nya kami harus berjalan kaki menuju kampung Tuban meminta pertolongan warga agar mengantar kami pulang, setidaknya sampai jalan besar.

Kami berharap akan ada keajaiban, yang bisa mengantar kami pulang ke rumah masing-masing dengan selamat.

Lapar mungkin masih bisa ditahan, tapi menahan dahaga sangatlah sulit. Kami semua kehausan, tidak ada air setetes pun di hutan abu ini. Daun-daun berguguran tanpa henti, membuat kami seperti di hujani daun dari pohon yang tinggi.

"Bagaiamana pun caranya, kita harus mencari mata air. Kita sudah terlanjur sampai kesini, ayo kita bergerak sama-sama untuk bertahan hidup. Jangan ada satu di antara kita bertiga yang misah lagi!" ucap Deta dengan tegas.

Kami mengangguk.

Lama kaki kami melangkah, terdengar suara gemercik air di ujung sana. Secepat mungkin kami mencari suara itu hingga mata air yang jernih berhasil kami temukan.

"Daripada nggak minum, mentah pun jadi!"

Deta meminum langsung dari mata air yang mengalir, kemudian di susul Jihan dan Sisil.

"Bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum. Kami izin meminta sedikit air ini untuk menghilangkan dahaga." Ucap Deta lirih.

Setelah itu, kami lanjutkan perjalanan kembali. Tidak cukup satu atau dua jam, melainkan ini seperti setengah hari kami berjalan, seperti tidak ada ujung. Kami hanya berputar-putar saja di tempat yang sama.

"Sudahlah, aku lelah!" Sisil mengadu.

"Sama, aku juga lelah." Jihan duduk di akar pohon besar di sampingnya.

"Kita nggak boleh putus asa, kita pasti bisa balik!" Deta menyeka keringat di wajahnya.

Tidak terasa perlahan, mata kami terpejam cukup lama. Rasanya seperti sedang tidur siang di rumah, kasur yang empuk, nyaman dan kami lupa keberadaan kami ternyata sedang ada di hutan.

🔹

#Pov_Jihan.

"Bangun, Deta! Sisil ayo bangun!"

Mereka membuka bola matanya dan memandang sekeliling. Ingatan nya sudah mulai kembali dan kini harus menerima kenyataan, bahwa ini bukanlah mimpi buruk melainkan memang kenyataanya.

Setelah beristirahat, kami bertiga melanjutkan perjalanan, entah kemana lagi, yang terpenting adalah usaha dan pastinya ada doa di dalam hati kami masing-masing. Aku percaya kedua orangtua kami di rumah sedang mendoakan keselamatan anaknya di sini.

[Bau sedap masakan]

"Sedap, harum. Sepertinya ada orang yang sedang memasak," tuturku.

"Mana mungkin, ada orang memasak di hutan," jawab Sisil dengan logika nya.

"Siapa tau, kita udah dekat sama rumah warga! ini pertanda bagus kan? ayo kita cari asal bau harum masakan ini." Deta menjawab dengan wajah penuh harap.

Baiklah, siapa tau memang benar apa yang dikatakan Deta.

Setelah dicari akhirnya kami menemukan nya. Bau masakan itu berasal dari dalam sebuah gubuk kecil, persis seperti rumah-rumah warga kampung Tuban.

Antara berhenti, putar balik atau terus melangkah. Sejujurnya perut kami sudah sangat lapar, apalagi mencium bau masakan ini, tapi apa boleh buat, kami hanya bisa menahannya.

"Semoga penghuni rumah, bisa menunjukan jalan, kita coba ya!" ucap Deta, kami mengangguk tanda setuju.

"Assalamu'alaikum, permisi, punten, nyuwun sewu,"

HUTAN TERLARANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang