Prolog

86 14 0
                                    

18 Januari 2022

"Mas Desal! Selamat ulang tahun yang ke tiga puluh enam!" seru tiga suara, disusul dengan bunyi 'plop'. Hiasan seperti terompet pun ditarik dan keluarlah konfeti berwarna-warni.

Lelaki yang berulang tahun hari itu, langsung tersenyum lebar. Kerut-kerut di ujung matanya tampak kentara. Empat tahun lagi, dia akan berusia empat puluh. Kurang lebih persis seperti usia ibunya saat meninggal dunia. Usia yang kata sebagian orang adalah prime of your life.

Desal lalu bersiap meniup lilin pada kue ulang tahun yang disiapkan ketiga adiknya. Adik perempuannya memakaikan topi kerucut dengan motif garis-garis berwarna merah metalik dan putih. Gadis itu tersenyum dan menyodorkan sebuah kado yang telah dibungkus rapi.

"Ini buat Mas Desal, dari aku," kata adik perempuannya, lalu menengok pada lelaki di sebelahnya yang tengah berkacak pinggang. Jaket jin lusuhnya sobek-sobek, rambutnya gondrong tanggung.

"Gue nggak siapin apa-apa, Ti. Belum sempat," kata Desta, lelaki itu.

"Dasar kebiasaan, udah gue bilang kan siapin kado. Lo gimana sih?" gerutu Desti.

Namun, Desal langsung menerima kado itu dan mengacak rambut kedua adik kembarnya. "Udah dong. Kok malah berantem?"

Desti cemberut sementara Desta menepis telapak tangan Desal yang lebar, mengingatkan dirinya akan tangan ayah yang sering mengelus pucuk kepalanya dulu. Dirapikannya rambut dan Desta hanya menyodorkan telapak tangan. "Salaman dulu aja deh kadonya. Entar kalo lagu gue laris, gue kan jadi terkenal."

"Ngaco aja lo, Ta!" seru Desti lagi.

Namun, Desal hanya tertawa. Kini, adik bungsunya yang menghampiri. "Ini dari Denan, Allie, sama Chika," kata adik bungsu Desal sambil tersenyum. Mata adik bungsunya agak lelah, tapi ia tetap tersenyum. Terduduk di ruang tamu, tampak perempuan muda dengan seorang bayi yang mungkin baru berusia dua tahun. Bayi itu tersenyum dan sedetik kemudian melempar tawa yang menggemaskan.

Desal melambai pada bayi itu dan berbisik gemas pada sang bayi, "Makasih kadonya, Chikaaa."

Saat tengah merayakan ulang tahun kecil-kecilan, bel rumah Desal Eka Radea berbunyi. Empat bersaudara itu langsung menoleh.

Desta yang memang tidak ada kerjaan dan tidak menyiapkan apa-apa, langsung menawarkan diri untuk membukakan pintu.

"Bentar, gue cek dulu," kata Desta. Ia bergegas ke pintu depan dan membukanya.

Seorang perempuan berambut panjang dan lurus, tersenyum seraya mengangguk pelan. "Mas Desalnya ada?" tanya perempuan itu.

Desta garuk-garuk kepala, lalu menengok ke arah kerumunan pesta kecil-kecilan. Lelaki gondrong itu berseru, "Desal! Ada yang nyari lo nih!"

Desal menuju sumber suara teriakan berat dan serak khas adiknya.

Saat ia membuka pintu lebih lebar dan Desta minggir dari ambangnya, dahi Desal pun berkerut.

"Marlin? Kok...."

Sebelum Desal selesai bicara, Marlin tersenyum manis. "Mas Desal... Tawaranmu yang waktu itu. Aku mau. Aku... Aku mau menikahimu," tukasnya.

Mungkin memang benar kata orang. Usia menuju empat puluh adalah usia paling unggul dalam kehidupan manusia. Namun, bagaimana dengan Marlin yang belum genap tiga puluh tahun? Apa benar yang ia katakan itu sudah mantap, mengingat lamaran Desal pernah ditolaknya?

Desal menghampiri tamunya yang berambut lurus dan tersaput bedak serta lipstik warna nude tipis. Gadis itu tersenyum tulus. "Mas Desal... Bagaimana? Apa kamu masih harus mempertimbangkannya?" tanya Marlin lagi.

Desal bingung. Ia menengok ke bagian tengah rumah tempat pesta ulang tahun kecil-kecilan diadakan dan memandangi ketiga adiknya yang juga terbelalak. Namun, keterkejutan ketiga adiknya berangsur-angsur berubah menjadi senyum bahagia.


*

[Diunggah pada Jum'at, 11 Maret 2022, 02.42 WIB]

Keeping Up with the RadeasWhere stories live. Discover now