Paviliun Bidadari

11 2 0
                                    

Wanita itu bernama Dinda. Dia adalah kekasihku dan aku sangat mencintainya melebihi apapun. Paras manis, kulit putih bersih, rambut hitam lurus sebahu, tubuh langsing padat dan wangi. Siapa yang tidak jatuh cinta padanya? Kalau kau pria normal pasti langsung jatuh cinta.

Hey jangan kau pikir ini adalah cerita cinta monyet remaja SMA ya. Ini adalah kisah cinta sejati. Sebagai seorang pria sejati aku telah menikahinya diusia yang masih terbilang muda yaitu dua puluh dua tahun, kami sepantaran. Jalinan cinta kami sudah sah.

Dia adalah wanita mandiri, kuat yang menerima apapun keadaanku. Bagaimanapun sikapku padanya, berapapun penghasilanku, apapun yang kulakukan dia akan selalu mendukung dan menerimaku. Bagaimana aku tahu? Karena dia selalu tersenyum manis padaku dan tak pernah sedikitpun marah. Ya, sesempurna itu dia dimataku.

Tiada hari yang kami lalui tanpa ungkapan rasa sayang, panggilan mesra atau sekedar candaan manja. Rasanya Tuhan terlalu baik padaku sampai mengirimkan salah satu bidadarinya untuk seorang pendosa sepertiku.

Ya aku adalah seorang pendosa dan dosa terbesarku adalah penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan. Tidak salah kan kalau aku men-cap diriku sebagai seorang pendosa?

Tapi itu dulu sebelum aku bertemu dengannya. Kini aku telah bertaubat dan memperbaiki hidupku lalu kuputuskan untuk menikahinya setahun yang lalu. Dinda tak pernah mempermasalahkan masa laluku yang kelam karena dia percaya bahwa tiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk terus memperbaiki diri selama mempunyai kemauan. Dan itulah yang aku lakukan hari ini.

Oh ya, kami tinggal di sebuah paviliun berukuran sedang yang terletak di halaman rumah orang tuaku. Paviliun ini terdiri dari ruang tamu, teras, satu kamar tidur, kamar mandi, dapur dan lahan terbuka untuk menjemur beberapa helai pakaian. Dulunya paviliun ini sering digunakan oleh tamu yang menginap. Tapi sekarang beralih fungsi menjadi tempat tinggalku sementara bersama Dinda.

Aku adalah seorang pelayan café dengan gaji dibawah UMR. Tentu saja gajiku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kami berdua, dan kedua orang tuaku juga tidak keberatan kalau aku dan Dinda tinggal di sini.

Seperti kebanyakan pasutri lainnya kami juga sering menghabiskan waktu bersama baik di rumah maupun di luar rumah. Memasak bersama, karaoke, berdansa, keliling kota dengan motor kesayangan, bercinta sepanjang malam dan masih banyak lagi kegiatan menyenangkan yang kami lakukan bersama.

Tapi bukan rumah tangga namanya kalau tidak diterpa masalah entah itu dari kita berdua ataupun dari orang ketiga yang merusak keharmonisan rumah tangga. Dan ironisnya masalah itu ditimbulkan oleh orang-orang terdekat yang seharusnya mendukung kelanggengan rumah tangga kami.

Orang-orang itu adalah ibu dan ayahku. Kedua orang tua itu selalu saja tidak menyetujui hubunganku dengan Dinda. Ada saja alasan tidak masuk akal yang mereka ucapkan agar aku segera berpisah dan meninggalkannya. Padahal mereka hanya belum mengenal Dinda.

Memang Ia adalah wanita yang pendiam, pemalu, dan lebih suka beraktifitas di dalam rumah, mungkin dia introvert. Sebagai mertua yang baik seharusnya mereka membimbing Dinda kan? Bukannya malah menyuruhku untuk mencerai dan meninggalkannya.

Berulang kali aku meyakinkan kedua orang tuaku mengenai Dinda. Dia memang sedikit berbeda, tidak seperti wanita kebanyakan. Tapi justru itulah yang membuatku mencintainya, itulah kecantikan sejati seorang Dinda. Malaikat tak bersayap, mentari tanpa terik, rembulan tanpa malam, angin tak bersiut, api yang tak membakar, cahaya tanpa silau, itulah Dinda!

"Ibu kasihan melihatmu nak, kamu bisa mendapat yang lebih baik darinya!", bentak ibu padaku disatu malam saat kami sedang menyiapkan makan malam untuk keluarga di paviliun kami. "Apa ibu tidak melihat betapa manisnya dia? Kami memasak bersama, mendekorasi ruangan bersama untuk acara ini bu. Untuk kita semua. Untuk ibu dan ayah juga", tanpa lelah aku terus meyakinkan kedua orang tuaku.

Hingga sampai pada saatnya aku telah terbiasa dengan semuanya. Dengan pandangan sinis kedua orang tuaku kepada Dinda. Dan aku hanya menganggap mereka belum paham. Mereka belum merasakan seperti apa cinta yang berkobar, cinta yang menggebu-gebu, api besar yang tak padam oleh lautan.

Bukankah orang harus merasakan mangga terlebih dahulu jika ingin mengerti nikmat dan segarnya mangga? Karena mangga dan apel sama-sama manis tetapi tetap berbeda kan? Seperti itulah gambaran kedua orang tuaku yang belum paham dengan Dinda. Belum paham dengan kesejatian cinta kami berdua.

Akhirnya aku tak lagi memikirkan ocehan mereka berdua selama mereka tidak berusaha mencelakai Dinda. Aku sudah bahagia hanya dengan tinggal berdua dengannya, rasanya hanya itu yang ku butuhkan di dunia ini. Di hidupku ini.

Hingga suatu pagi aku marah besar kepada kedua orang tuaku. Pagi itu aku sedang diperjalanan menuju café tempatku bekerja. Tapi di tengah jalan aku baru sadar kalau ponselku tertinggal di rumah. Akhirnya kuputuskan untuk pulang ke rumah mengambil ponsel. Sesampainya di rumah aku melihat ayah dan ibuku menyeret Dinda dengan kasarnya. Memaksanya untuk pergi dari rumah.

"Hey! Kalian sudah keterlaluan. Selama ini aku sudah bersabar dan menahan diri dengan kelakuan kalian tetapi ini sudah di luar batas kewajaran. Menyingkir atau ku hajar kalian!", itulah pertama kalinya aku membentak dan membenci kedua orang tuaku. Karena mereka telah melukai orang yang paling aku cintai.

DOK! DOK! DOK!

"Siapa sih malem-malem ngetok pintu kenceng banget. Ganggu orang mau enak-enak aja. Bentar ya sayang aku lihat dulu". Aku bergegas membuka pintu depan hendak memarahi pengganggu itu. Setelah ku buka pintu aku melihat seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan berbadan tegap mengenakan setelan jaket kulit hitam, kemeja kotak-kotak biru, celana jeans dan sepatu pantofel hitam.

"Selamat malam saudara Riyan. Kami baru saja mendapat laporan dari warga bahwa anda telah membunuh seorang wanita bernama Dinda setahun yang lalu dan menyimpan mayatnya di dalam rumah anda. Mari saudara ikut kami ke kantor polisi untuk kami mintai keterangan lebih lanjut", ujar pria itu yang sontak membuatku bingung. Membunuh? Mayat? Dinda? Apa maksudnya?

"Maaf Riyan sayang, ibu sudah tidak kuat melihat kamu terus-terusan seperti ini...", begitu juga dengan ibuku. Dia juga mengucapkan kalimat yang membuatku bingung sambil menangis dan memelukku.

Akhirnya mau tak mau aku mengikuti pria tersebut ke kantor polisi. Kami hanya mengobrol biasa layaknya dua orang pria. Tapi aku sangat membencinya. Dia membuatku terpisah jauh dari Dinda. Setelah obrolan di kantor polisi, dia membawaku ke suatu tempat bernama asylum apalah terserah, nama yang aneh. Terletak dibawah kaki gunung jauh dari rumahku.

Dia memintaku menginap beberapa hari di sana sambil aku me-refresh pikiranku. Memang kuakui tempatnya sejuk, asri, rerumputan terhampar luas dengan pemandangan Gunung Ijen dan Raung yang mempesona. Tapi apa gunanya seluruh keindahan ini tanpa cinta sejati di sampingku? Tanpa Dinda?

Tapitak apalah kalau cuma beberapa hari. Toh aku masih bisa mengirim surat untukDindaku tercinta. Biar ku tunjukkan pada mereka apa itu cinta sejati. 

Don't Disturb Me!Where stories live. Discover now