[QUARTER-LIFE CRISIS]

29 5 0
                                    

—o0o—

Naya memegang mug berisi coklat panas pemberian Lili untuk menjaga suhu tubuhnya dari angin malam yang menusuk-nusuk permukaan kulit. Memandang city light kota Jakarta dari balkon apartemen. Suasana yang cukup menenangkan. Berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang terus mengoceh.

Naya menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Ini kondisi yang paling ia hindari selama ini. Menyadari bahwa ia telah memasuki fase Quarter-life crisis.

Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Di saat teman-temannya sudah mulai bisa berpikir dewasa, Naya masih terjebak dalam pola pikir remajanya yang sangat minim empati dan kekanak-kanakan.

Naya memiringkan kepalanya ke kanan. Ia terus memikirkan hal-hal yang sudah ia lakukan selama ini. Apa itu termasuk tindakan yang benar, atau justru sebaliknya.

Ia jadi teringat apa yang sudah ia lakukan tadi sore. Naya memijat pelipisnya yang mulai berdenyut dengan tangan kiri.

Bukan, bukan hanya sore ini. Naya baru sadar ia selalu bersikap kurang ajar tanpa rasa bersalah dengan orang yang ia maksud. Siapa lagi kalau bukan Anseno.

"Minta maaf?"

"Enggak?"

"Minta maaf?"

"Enggak?"

Naya mengucapkan pertanyaan itu mengikuti langkah kaki seseorang yang berjalan menuju tenda makan Bu Ani.

"Enggak," finalnya setelah langkah kaki itu berhenti.

Naya mungkin tidak akan merasa bersalah andai respon yang laki-laki itu berikan sama seperti orang-orang yang pernah ia perlakukan serupa. Namun Anseno tidak. Ia, berbeda.

Sejenak Naya terkesiap mendengar dering dari ponsel di saku kardigannya. Memejamkan mata sepersekian detik untuk menetralkan detak jantungnya yang jadi lebih cepat karena terkejut.

Selalu.

Selalu nama itu yang tertera di layar ponselnya.

Biasanya Naya akan merasa kesal dan bersungut-sungut menjawab panggilan itu Namun kali ini ia hanya diam tanpa bersuara. Rasa bersalah kembali merasuk ke dalam hatinya.

Haruskah ia meminta maaf, atau tetap mengabaikannya saja?

"Naya?" panggil Anseno.

"Masih marah, ya?" tanyanya setelah dirasa tidak ada respon dari Naya.

"Kenapa bapak sering telepon saya tiap malam?" tanya Naya.

Keheningan berlalu beberapa saat sebelum Anseno menjawab.

"Saya pengen ngobrol sama kamu," jawabnya dengan suara setenang malam. Naya menggigit bibir bawahnya pelan.

Lagi, lagi, dan lagi. Dia berbeda.

"Biasanya orang enggak mau lama-lama ngobrol sama saya."

"Kan saya bukan yang 'biasanya'," Dada Naya kian bergemuruh, kurun detik nafasnya tertahan.

Ia semakin merasa bersalah, bisa jadi sebenarnya Anseno bukan seseorang yang buruk seperti yang ada di pikirannya, dilihat dari cara berbicaranya yang terlampau baik.

The Cerry on the CakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang