Bab 5

72.3K 1.6K 46
                                    

Gisca yakin, ada yang tidak beres dari otak Saga!
Ya, orang normal mana mungkin melakukan apa yang Saga lakukan?

Gisca secepatnya sadar agar berhenti memikirkan pria sinting itu. Ia akan mencari cara untuk lepas dari Saga tanpa menimbulkan kegaduhan, terutama jangan sampai Sela tahu.

Menurut Gisca, memberi tahu Sela adalah opsi terakhir. Untuk sementara ia akan mencari cara dulu supaya bisa melepaskan diri.

"Enak, kan?" tanya Sela pada Gisca, saat ini mereka sudah ada di apartemen Sela dan tengah menikmati jajanan yang beberapa menit lalu mereka beli bersama-sama.

"Lumayan juga. Enak tapi kalau tiap hari bahaya," balas Gisca.

Sela terkekeh. "Aku juga nggak tiap hari, kok. Nanti timbangan naik banyak baru menyesal."

Sejenak Gisca menoleh pada kantong belanjaan berisi makanan dan minuman ringan yang Saga berikan. Sial, hal itu otomatis membuatnya teringat pria gila itu lagi.

Gisca memang belum memblokir nomornya. Sedari tadi pun berusaha mengenyahkan segala hal tentang Saga dalam pikirannya, terlebih saat bersama Sela begini.

Namun, Gisca tidak bisa sepenuhnya lupa meskipun otaknya sudah dipaksa mengusir pria itu. Bagaimana tidak, Saga itu hanya menarik dari segi penampilan saja, padahal sifatnya benar-benar mengerikan sekaligus menyeramkan. Membuat Gisca merasa tidak aman.

Jujur, sampai detik ini Gisca masih tidak habis pikir bagaimana bisa Saga mengirimkan foto yang sangat tidak masuk akal. Apa itu artinya Saga sebenarnya sudah tahu kalau yang berbaring di kasur bukanlah pacarnya, dan pria itu sengaja memanfaatkan keadaan untuk menjeratnya?

Dasar playboy gila, sinting, mengerikan!

Konyolnya Saga seperti orang tak berdosa mengatakan kalau semua itu hanya kecelakaan, padahal pria itu jelas sudah melakukan pelecehan.

Ah sial! Bisa-bisanya Gisca percaya begitu saja dan masuk perangkap pria itu. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, bagaimana caranya agar terlepas dari pria itu?

Gisca yakin Saga akan menggunakan foto sialan itu untuk mengancamnya, bahkan merusak pertemanannya dengan Sela.

"Gisca? Kok ngelamun?"

Suara Sela berhasil membuyarkan segala pemikiran Gisca.

"Oh, nggak kok. Aku nggak melamun."

"Kamu kepikiran interview besok, ya?"

Gisca mengangguk agar Sela tidak curiga.

"Aku harap kamu diterima, ya. Kamu nanti jawabnya santai aja, jangan tegang."

Gisca mengangguk. "Iya, Sel. Makasih."

"Ah, andai ada teman yang kerja di situ ... aku bakalan minta tolong buat nerima kamu, jadi kamu nggak perlu susah payah."

"Nepotisme maksudnya? Enggak Sel, aku berharap bisa diterima secara bersih."

"Dasar, seandainya aja ada orang dalam, kamu pasti nggak akan nolak kalau mau dibantu."

Gisca terkekeh. Dan mereka pun tertawa.

"Oh ya, BTW setelah interview mau langsung pulang atau nyari tempat tinggal dulu?"

"Diterima aja belum, masa nyari tempat tinggal?" jawab Gisca. "Aku mau pulang dulu. Setelah resmi diterima, barulah bergerak nyari kos-kosan atau kontrakan. Tentunya yang murah tapi nyaman."

"Andai kamu diterima, sori ya Gis ... aku nggak bisa ajak kamu tinggal bareng di sini. Padahal sebenarnya aku pengen."

"Enggak apa-apa, kok. Aku justru nggak enak ngerepotin kamu terus," balas Gisca. "Lagian aku mau cari tempat terdekat sama tempat kerja, kalau di sini kejauhan."

Teman tapi KhilafWhere stories live. Discover now