Bab 29 || Tanya Hati

Start from the beginning
                                    

Jadi, apakah benar jika ia harus berhenti sejenak?

***

Datang ke kelas dengan langkah gontai, Akmal langsung merebahkan kepala di atas meja tanpa memperdulikan tatapan teman-teman kelas yang sudah datang. Bodo amat dengan panggilan dari Dafa yang terus mengusik gendang telinga.

"Ngapa lo? Dateng-dateng kek mayat idup," celetuk Dafa yang entah sejak kapan sudah duduk di kursi sampingnya.

Akmal hanya berguman tak jelas dalam wajah yang tertutup ransel membuat Dafa menggerutu. Dengan jahil ia menendang kaki Akmal di bawah sana sembari berkata, "tuh, pujaan hati lo datang!"

Namun tak ada reaksi  seperti biasanya membuat Dafa semakin heran. Apakah temannya itu tidur dan tidak mendengar ucapannya? Namun saat pundaknya ditepuk kerasa, Akmal menggerutu sambil mengangkat kepala.

"Itu si Fiqa dateng, gak mau nyamperin dia?"

"Gak!" Setelah menjawab, Akmal kembali menelusupkan wajah diantara lipatan tangan di atas meja, benar-benar tak peduli dengan Dafa yang dibuat bingung. Saat ini Akmal hanya ingin tidur sebelum jam pelajaran mulai.

Lagipula ucapan Mama dan Papa terus berputar di kepala bagaikan radio rusak yang terus stuck di satu bagian saja. Pukul tiga dini hari Akmal baru bisa terlelap, itu pun hanya satu setengah jam.

"Dia kenapa?" Mirza menghampiri ketika menangkap keberadaan Dafa di samping Akmal yang matanya terpejam.

Mengedikkan bahu tak acuh, bibir Dafa terus berkomat-kamit entah sedang menggerutu atau melontarkan serangkaian sumpah serapah.

"Sakit kagak, tuh, anak?"

"Kagak tau, tapi pas dateng kek mayat idup anjir!" adu Dafa pada Mirza yang menatap Akmal beberapa detik. "Mungkin masih galau," sambungnya menerka-nerka.

Dafa melirik Akmal yang kini kepalanya ditutupi jaket hitam yang pemuda itu lepas tadi. "Gini, nih, resiko bucin kronis. Kan, repot sendiri," cibirnya lalu beranjak saat melihat si bendahara kelas yang akan menghampiri, pasti akan menagih denda karena ia tak piket kemarin.

"Kabur, ah!"

***

"Fir," panggil Afiqa. Si pemilik nama yang berjalan di sisinya menoleh. "Akmal marah kali, ya?"

"Gak tau."

Afiqaa hanya mampu mengembuskan napas pelan sesaat setelah menarik napas dalam-dalam guna menghilangkan rasa aneh yang tiba-tiba menyapa sudut hati. Lantas ia menuangkan adonan kue ke dalam loyang bulat dengan cekatan lalu memasukannya ke dalam oven.

Sejak pagi tadi Afiqa merasa ada yang aneh. Akmal yang tak menganggunya walau hanya dengan kalimat sapaan seperti biasanya membuat Afiqa merasa ... ada yang hilang? Ah, tidak-tidak. Perempuan itu menggeleng cepat beberapa kali mengusir pikiran anehnya.

Tadi sebelum pelajaran seni budaya yang katanya Pak Koko akan mengajar tentang musik, Afiqa mendapati Akmal masuk kelas dengan satu gitar berwarna cokelat yang digadang-gadang diambil oleh  pemuda itu dari ruang kesenian. Sejak gitar dalam pelukan Akmal, pemuda itu terus menarik senar gitar dengan nada sedih yang menusuk gendang telinga.

Pandang pemuda itu terus menerawang ke luar jendela di mana langit cerah mulai diserbu gulungan awan berwarna abu, seolah menggambarkan perasaan yang tengah melanda hati seorang Akmal Syahril Mutazan.

Ketika Pak Koko masuk dan meminta Akmal, si murid yang terkenal jago di bidang musik untuk maju dan membawakan sebuah lagu, bebas tergantung pilihan Akmal sendiri. Pemuda itu duduk di depan kelas setelah menarik satu kursi kosong di depan meja Afiqa begitu saja. Menarik senar gitar sebagai intro lalu membuka suaranya yang terdengar sangat menghayati lirik lagu yang dinyanyikan.

Unjuk Rasa ✔️Where stories live. Discover now