Bab 4

11.1K 1.5K 34
                                    

"Mbak Yaya kepalanya masih sakit, gak?" Ilmi datang membawakan segelas air putih dingin untuk Yaya dan langsung duduk di sebelah Yaya.

Yaya menggeleng pelan, berusaha menenangkan Ilmi. "Udah gak sesakit tadi," ucapnya sedikit berdusta. Kulit kepalanya masih sakit, meski memang sakitnya sudah tidak separah tadi.

"Mas Guntur emang keterlaluan, awas aja. Aku aduin ke Ibu baru tau rasa nanti," dumel Ilmi penuh emosi.

"Emang Mas yang jambak rambut Yaya?" Guntur berdecak saat mendengar apa yang dikatakan Ilmi. Ia baru saja muncul dan bergabung dengan kedua perempuan itu di ruang tengah. Baju kantornya sudah berganti menjadi baju rumahan. Kaos dan celana pendek selutut. Biasanya, pulang dari kantor ia langsung mendekam di kamar untuk bermain game, tapi saat ini tidak bisa.

Ilmi langsung mendelikkan matanya kesal. "Tapi gara-gara Mas Guntur, rambut Mbak Yaya dijambak sama nenek lampir itu," balasnya sengit. "Kenapa Mas Guntur harus punya mantan yang sifatnya kayak nenek lampir sih?"

"Bukan mantan. Mas sama dia gak sampai tahap pacaran," koreksi Guntur cepat. "Cuma sekedar dekat biasa aja," tambahnya.

"Dekat biasa aja udah posesif banget. Apalagi kalo udah benaran pacaran," gerutu Ilmi.

Guntur tertawa pelan dan berdiri di hadapan Yaya untuk mengecek kepala perempuan itu. "Sakit banget, ya? Kok dari tadi diam aja?" tanyanya khawatir.

Yaya langsung meninju perut Guntur dengan keras. "Gak kok, gak sakit," jawabnya sarkas.

Guntur terkekeh pelan dan mengusap puncak kepala Yaya dengan lembut. Sesekali ia meniup, berusaha mengurangi rasa sakit di kulit kepala Yaya. Setelah berbicara dengan Maretha, Guntur langsung mengajak pulang Ilmi dan Yaya. Sepanjang perjalanan, dua perempuan itu kompak mendiamkannya. Ada rasa bersalah yang bergelayut saat melihat Yaya harus kembali menjadi korban kebrutalan mantan gebetannya.

"Kenapa ini?"

Semua yang ada di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Ibu, berdiri menenteng tas kecil di tangan kanannya, dan kantong plastik berisi kotak nasi di tangan kirinya.

"Bu, rambut Mbak Yaya dijambak ceweknya Mas Guntur," adu Ilmi langsung. Ia langsung membawa Ibunya untuk duduk di sebelahnya.

Ibu meletakkan barang bawaannya ke atas meja dan melihat Yaya dengan tatapan khawatir. "Gimana ceritanya? Terus, Yaya gimana? Sakit gak kepalanya?" cercanya bertubi-tubi.

Guntur yang awalnya berdiri, langsung duduk di sofa single di depan Ibunya. Ia mendengarkan semua aduan Ilmi yang menggebu-gebu kepada Ibunya. Ia melirik Yaya yang hanya mengangguk atau menggeleng ketika ditanya oleh Ibunya. Sepertinya keadaan Yaya masih kurang baik dilihat responnya yang kurang semangat.

"Benar kayak gitu Guntur?" tanya Ibu memastikan.

"Bukan pacar, Bu." Entah sudah berapa kali ia harus mengoreksi statusnya dengan Maretha. "Kita cuma dekat biasa aja."

"Kamu ini, kalo cari cewek yang benar dikit bisa gak? Masa ada aja tingkah cewekmu yang buat Yaya jadi terluka," omel Ibu. "Kamu mau Yaya jadi botak gara-gara kelakuan playboy-mu?"

"Lucu kali kalo Yaya botak," celetuk Guntur usil yang langsung disambut lemparan bantal sofa dari Ibunya.

"Sekarang antarin Yaya pulang. Dia butuh istirahat," pinta Ibu tegas.

Guntur mengangguk patuh dan langsung bangun dari sofanya.

Yaya menarik tasnya dan mengambil tangan Ibu untuk ia cium. "Yaya pulang dulu, Bu," pamitnya.

"Maaf lho, Ya. Kepala kamu jadi sakit gara-gara pacarnya Guntur," ucap Ibu sembari mengusap kepala Yaya dengan sayang.

"Bukan pacar, Bu," desis Guntur yang langsung dihadiahi delikan tajam oleh Ibu.

Lucky to Have You [Completed]Where stories live. Discover now