#2 - Seandainya

299 14 5
                                    

Ada dua buah gelas berisi wine di subuh yang dingin ini. Gelas pertama (yang sepanjang malam ini diisi ulang berkali-kali) telah tandas, sementara gelas kedua hanya menjadi pajangan di tengah meja. Utuh dan tak tersentuh.

Pemilik gelas pertama, seorang wanita Prancis berambut brunette dan bermata biru, sudah terlelap dua jam lalu. Badannya yang langsing dan tinggi--profesinya model--tersembunyi di balik selimut tebal. Kepalanya terbaring di bantal bulu angsa terbaik yang empuk. Wajahnya, yang masih dipulas make-up wajar, tampak polos. 

Meskipun ia tampak seperti anak kecil ketika tertidur, sebenarnya ia masih berada dalam pengaruh alkohol. 

Tapi tidak ada yang tahu itu selain pemilik gelas kedua, Raka. Alias tunangannya. 

Tengah malam sudah lewat empat jam. Saat ini, waktu di Prancis menunjukkan pukul tiga pagi. Tadinya Raka ingin tidur di sofa (karena tempat tidurnya dipakai oleh tunangannya yang sedang dalam keadaan mabuk), tapi ia tidak mengantuk. Jadilah ia memutuskan untuk menunggu pagi di balkon apartemennya, hanya dilindungi oleh sehelai baju hangat.

Belakangan ini, Raka memang susah tidur. Sudah seminggu ini ia hanya tidur dua sampai tiga jam sehari, sehingga wajahnya berubah pucat dan lingkaran hitam di bawah matanya mulai muncul.

Sudah sepuluh kali Michelle, tunangannya, memaksa agar ia memeriksakan diri ke dokter. Dan sudah sepuluh kali pula ia menolak. 

"But, Love, bagaimana kalau kamu ternyata sakit?" tanya Michelle. Kekhawatiran terpancar dari mata birunya yang indah. "Come on, see the doctor. I will be with you there." 

Raka menggeleng. Selain karena tidak mau mengganggu jadwal pemotretan Michelle yang padat, ia juga merasa kunjungannya ke dokter tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Ia tahu pasti alasan kenapa ia terjaga sepenuhnya tiap malam tiba: bukan karena sakit.

Melainkan karena Shilla. 

Ia rindu sekali pada gadis tomboi itu.

Raka menghela napas. Shil, apa kabar? 

Sejak pertemuannya yang tidak disengaja dengan Olga minggu lalu, Raka tidak bisa berhenti berpikir. Tentang Shilla, tentang Indonesia, dan tentang hidupnya sendiri. 

Berjuta-juta kali ia menghujani dirinya sendiri dengan kata 'seandainya'.

Bagaimana seandainya jika ia tidak berkarier di Prancis, melainkan di Indonesia?

Bagaimana seandainya jika dulu ia memilih melanjutkan kuliah di Indonesia, bukan di Prancis?

Bagaimana seandainya jika ia tidak pernah bertemu Michelle? 

Bagaimana seandainya jika ia tidak pernah merelakan Shilla?

Bagaimana seandainya jika dulu ia tidak pernah menarik diri dari Olga, Putri, dan Shilla?

Bagaimana seandainya jika dulu ia berani untuk jujur? Pada Shilla dan pada dirinya sendiri?

Raka termenung. Kemarin, jam setengah dua malam, Raka nyaris terlelap ketika Olga meneleponnya. 

"Halo? Rak?"

Raka mengusap-usap matanya yang merah (kesal sekali karena dibangunkan, padahal baru kali itu ia tertidur sebelum jam dua malam), lalu mengumpat, "Ol, gokil lo, ya! Lo pikir sekarang jam berapa?"

"Jam setengah tujuh," jawab Olga polos.

"Di Jakarta, iya!" bentak Raka. "Di Paris, ini tengah malam!" 

PulangМесто, где живут истории. Откройте их для себя