11. Menyatakan

54 26 85
                                    


Entah mengapa tiap hari Nia makin getol menjodohkan aku dengan Ana, sepertinya memang disengaja. Namun, aku tidak peduli, bukan Ana yang aku tuju. Dari awal perasaanku hanya tertuju dan sudah menetap pada Nia. Aku hanya menyukai Nia, bahkan sudah mencintainya.

Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta kepada siapa pun. Bagitu bertemu Nia, aku baru bisa jatuh cinta dan move on setelah bertahun-tahun tak bisa lepas dari bayangan sang mantan. Aku sudah terlanjur mencintai Nia dan aku sudah tak bisa lagi membunuh perasaan yang bersemayam dalam hati. Jadi, jika ada orang lain yang mencintaiku, aku tak bisa menerimanya. Di hatiku sudah ada Nia meskipun nantinya jika Ana dengan nekat memintaku untuk menjadi kekasihnya.

Menghapus bayangan Nia dari kepalaku saja sulit, apalagi berhenti mencintainya untuk menerima orang lain. Sungguh bukan aku jika itu terjadi. Tak mudah bagiku menerima orang lain jika aku benar-benar tak memiliki perasaan khusus. Kepada Ana, aku memang tak memiliki perasaan selain pertemanan saja.

Hampir setiap aku ingin tidur, setiap malam, Nia selalu datang dan bermain di dalam kepalaku. Menjadi teman menuju ke alam mimpi.

Akan tetapi, tidak pernah sekalipun Nia hadir di dalam mimpiku. Bahkan sampai aku bisa mencintainya, dia tak pernah muncul. Padahal aku ingin sekali bertemu dengan Nia di alam mimpi lalu menikmati hal-hal yang terjadi di alam bawah sadarku. Namun, sebenarnya tak mengapa jika pada kenyataannya itu belum pernah terjadi. Mimpi hanyalah bunga tidur yang tak nyata. Sedangkan Nia adalah keindahan yang begitu nyata di depan mataku.

Berkhayal tentang Nia sebelum tidur sudah cukup membuatku senang, karena di dalam khayalan aku bisa berbuat apa pun sesuka hatiku. Menjadikan Nia apa saja sesuai keinginanku.

Aku sering berkhayal Nia telah menjadi kekasihku lalu pergi bersama menikmati malam dengan makan makanan kesukaan di tempat-tempat romantis. Terkadang juga berkhayal menikmati lengkung warna pelangi setelah hujan reda pada suatu hari atau menikmati langit sore dengan matahari yang mulai terbenam, juga langit malam yang penuh dengan kerlip bintang di sana. sungguh indah rasanya.

Memang tidak ada yang bisa mengalahkan indahnya berkhayal. Sampai-sampai aku ingin hidup di dunia khayalan agar bisa memiliki dan terus bersama selamanya dengan Nia.

Khalayan tingkat tinggiku adalah berkhayal Nia mau menerima pinangaku. Menikah lalu hidup bersama. Bahagia bersama, tertawa bersama, bercerita bersama, bernyanyi bersama, dan tentu saja setiap hari bersama lalu punya anak bersama. Anak-anak yang lucu. Anak lelaki yang akan aku beri nama Bo dan anak perempuan yang akan aku beri nama Po. Aku yakin mereka akan menjadi anak-anak yang menggemaskan. Kemudian Nia dan aku akan hidup dalam satu rumah mungil di desa dan penuh kasih sayang. Rumah yang di garasinya ada sebuah mobil kodok terparkir dan di halaman depan terdapat sebuah kolam kecil dengan aneka macam ikan yang berwarna-warni, juga taman indah penuh aneka ragam tanaman hias. Rumah yang tak pernah sepi oleh canda dan tawa kebahagiaan.

Betapa senangnya saat melihat Nia sedang memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi untukku dan anak-anak. Betapa senangnya melihat Nia dengan gemas menggangguku dengan menggenjreng asal senar-senar pada gitarku saat aku sedang menulis lagu lalu dia berkata. “Sayang, kopinya diminum dulu, nanti keburu dingin.” Lalu menciumku.

“Woi, stop! Kau terlalu jauh berkhayal.”

Suara itu terdengar jelas di telingaku dan terus terngiang-ngiang. Sontak aku melihat di setiap sudut kamar. Namun, aku tak menemukan apa-apa selain hanya benda-benda mati yang diam di tempatnya. Tidak mungkin jika itu suara hantu, pikirku.

Aku kembali berkhayal.

“Lihat! Pacaran saja belum, sudah berkhayal sejauh itu. Kau pun tahu sendiri, di hatinya masih ada siapa.” Lanjut suara itu yang jelas-jelas sedang berbicara kepadaku.

Khayalan tentang Nia tadi pun buyar lalu hilang begitu saja. Seperti sebuah istana pasir yang terhempas ombak di pantai.

“Kau selalu saja berkhayal seperti itu, tapi kau tak pernah sekalipun berani dengan terang-tenrangan mengungkapkan semua isi hatimu. Kau ini tak lebih dari seorang pecundang, sekaligus pengecut. Kau hanya berani berkhayal saja dengan menjadikan Nia sesuka hatimu, tapi kenyataannya, nol besar!”

Suara itu terus berkoar-koar dengan lantang di telingaku hingga kepalaku mulai terasa berat dan aku mulai mengacak-acak rambutku.

“Diam!” teriakku kepada suara itu yang sebenarnya aku sendiri tak tahu dari mana asalnya. Tak tahu suara apa atau siapa dan di mana.

“Kenapa?” Suara itu bernada sinis.

“Aku bukan pecundang seperti katamu!”

“Lalu?”

“Lihat saja nanti. Tak lama lagi aku akan mengungkapkan semua isi hatiku. Aku akan meminta Nia menjadi kekasihku.” Aku sudah seperti orang gila saja. Berbicara dengan entah siapa. Namun, memang suara itu terdengar nyata bahkan bisa merespons ucapanku. Kepalaku semakin berat saja rasanya.

Hening. Suara itu tak lagi terdengar di telingaku.

“Tapi kapan? Lagi pula aku masih tidak yakin jika Nia mau menerimaku. Aku pun belum benar-benar tahu di hatinya ada siapa. Mungkin Senja atau bahkan Edi. Tapi jika aku tak mengungkapkannya, benar kata suara itu, aku tak lebih dari seorang pecundang sekaligus pengecut. Tidak, tidak. Aku bukan orang seperti itu,” monologku dengan lirih seperti orang gila sambil mengacak-acak rambutku kembali.

“Aha... Aku tahu apa yang harus kukatakan kepada Nia. Aku tahu bagaimana cara untuk mengungkapkan isi hatiku,” lanjutku dengan mantap.

☆☆☆

Di malam yang tenang, pada hati yang bergemuruh bagai ombak laut selatan, aku memberanikan diri untuk mengirim sebuah pesan melalui BBM. Sebenarnya aku ingin mengungkapkan semua isi hatiku secara langsung, tetapi keadaan yang tidak mendukung. Nia dan aku memang jarang memiliki waktu untuk duduk berdua. Hal itu yang akhirnya membuatku memilih BBM sebagai media mengutarakan perasaan hati ini.

Aku tidak tahu bagaimana suasana hati Nia, maka kuputuskan untuk mengirim pesan biasa seperti biasanya. Semua itu agar aku bisa membaca suasana hatinya. Salah-salah jika suasana hatinya sedang buruk, semua rencanaku akan gagal total. Jelas aku akan ditolaknya mentah-mentah.

“Hai, Mbak Nia. Apa kabar?” Isi pesanku yang pertama.

“Lagi apa, nih?” Isi pesanku yang kedua.

Dari kedua isi pesan tersebut, jika dibalas, aku akan bisa membaca bagaimana suasana hati Nia.

Tak lama setelah itu, akhirnya Nia membalasnya. Balasan yang lumayan panjang dan disertai dengan pertanyaan, membuatku tahu jika suasana hatinya memang sedang bagus. Aku pun senang, berharap semua akan berjalan sesuai rencana.

Saatnya melancarkan rencana yang sudah aku susun.

Sungguh jika ada yang melihatku, pasti akan tertawa melihat bagaimana wajahku yang akan menyatakan perasaan hati. Mungkin karena aku orang jawa yang selalu mengatakan kata ‘untung’ pada setiap kejadian, maka aku ucapkan hal itu ketika mengingat bahwa tidak ada waktu untuk menyatakan perasaan hati secara langsung, empat mana. Melalui BBM saja wajahku sudah pucat pasi, apalagi jika di hadapan Nia langsung. Mungkin semua kata yang telah aku susun bisa hilang seketika dimakan rasa grogi yang menguasaiku.

Butuh waktu lama untuk aku berani mengirim tiga kata yang sebenarnya sudah aku tulis sedari tadi. Bissmillah, batinku.

“Mbak, aku mencintaimu.” Tulisan itu akhirnya terkirim ke ponsel Nia melalui BBM.

○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○

Terima kasih telah membaca.
Kira-kira bagaimana cerita selanjutnya setelah Tyo mengungkapkan isi hatinya kepada Nia. Apakah diterima atau ditolak.

Yuk bantu vote dan komen atau share linknya.

Terima kasih banyak, sehat-sehat selalu.

Mengejar Karunia [TERBIT]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora