10. Disalahartikan

64 29 77
                                    


"An, ini ada coklat. Tolong kamu kasih ke Nia, ya?" ucapku kepada Ana saat sedang istirahat bersama. Sengaja aku tidak memberinya langsung kepada Nia karena pasti dia akan menolak karena sungkan untuk menerima.

Aku tahu, tidak semua permintaan Nia itu serius, hanya untuk bahan bercandaan saja. Namun, aku tidak pernah menanggapinya begitu. Sebagai orang yang sedang mengejarnya, akan aku buat permintaan itu sebagai hal yang memang harus aku kabulkan. Termasuk coklat yang aku titipkan kepada Ana.

"Semuanya?" tanya Ana saat menerima dua batang coklat tersebut.

"Satu buat Nia dan satu buat kamu, An," terangku. Aku sengaja membeli dua batang coklat karena aku tidak enak jika Ana hanya kujadikan sebagai perantara saja, tanpa mendapat upah apa pun. Aku masih punya hati untuk orang-orang yang aku mintai pertolongan.

☆☆☆

Baru saja merebahkan tubuh di ranjang, tiba-tiba saja terdengar suara ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk melalui BBM. Aku tersenyum melihat Nia yang mengirimnya. Tidak seperti dulu, kini Nia sudah mulai sering mengirim pesan kepadaku selain untuk membeli pulsa. Satu kemajuan buatku melihat Nia mau melakukan itu.

"Cie, yang tadi habis ngasih coklat ke Ana." Isi pesannya.

Belum selesai aku mengetik sebuah balasan untuk menjelaskan hal tersebut, sudah datang satu lagi pesan dari Nia yang mengatakan kalau Ana senang sekali mendapat sebuah coklat dariku. Seharusnya Ana yang bilang begitu, memberi kabar baik kalau Nia senang menerima coklat dariku, batinku.

Ah, ternyata memang salahku. Tadi aku lupa tidak mengatakan kepada Ana bahwa coklat yang kuberi itu sebagai ucapan terima kasih telah mau kutitipi coklat untuk Nia. Namun, aku masih ragu, apa benar Ana berkata seperti itu atau hanya akal-akalan Nia saja. Aku yakin kalau sebenarnya Nia mengetahui soal coklat itu karena baru saja kemarin dia mengatakan keinginannya untuk makan coklat kepadaku dan aku berkata untuk membelikannya.

"Yang bener, Mbak? Nggak mungkin, ah?" Akhirnya itu yang aku tulis sebagai balasan BBM dari Nia.

"Beneran, Mas. Ana tuh banyak cerita tentang Mas Tyo, loh. La wong dia kalau curhat selalu ke aku, kok. Mas Tyo sering pulang bareng dia, kan?"

Memang sejak awal masuk ke restoran milik Arnoud, aku sering pulang bareng dengan Ana. Namun, itu tanpa sengaja karena kebetulan memang arah rumahnya sama dengan rumahku. Lagi pula, seringnya aku hanya bertemu di jalan. Sebagai orang yang kenal sudah tentu aku memutuskan untuk bareng. Mungkin hal itu disalah artikan oleh Ana, pikirku.

"Memangnya dia suka cerita apa?"

"Ya, banyak. Dia suka Mas Tyo, katanya."

Mataku terbelalak membaca pesan dari Nia. Aku tidak percaya kalau Ana pernah bilang seperti itu kepada Nia.
Ini bisa gawat jika itu terjadi. Aku semakin sulit untuk menaklukan hati Nia. Meski cinta memang tak bisa dibuat, ia datang atas kemauannya sendiri, tetapi aku yakin Nia pasti tidak enak hati dengan Ana.

"Nggak mungkin, ah."

"Ye, nggak percaya. Udah jadian aja, Mas."

Harapanku ternyata belum tercapai. Berharap Nia yang menyukaiku, ternyata malah Ana. Ditambah lagi Nia berkata seperti itu, menyuruhku untuk jadian. Ini tidak akan pernah terjadi. Nia yang aku harapkan untuk menjadi kekasihku, bukan Ana.

"Nggak, ah. Bukan Ana yang aku suka."

"Terus siapa?"

Aku tidak langsung membalas pesan berupa pertanyaan itu. Ada jeda untuk aku berpikir apakah sudah saatnya berterus terang dalam ucapan, bukan hanya dari sikap dan perhatianku yang mungkin samar terlihat.

"Kamu yang aku suka, Mbak."

Ingin rasanya aku menekan tanda kirim agar tulisan yang sudah aku ketik itu terkirim dan terbaca oleh Nia, tetapi jari telunjukku terasa berat untuk melakukannya.

"Ada, deh." Akhirnya kata itu yang aku kirim kepada Nia setelah aku menghapus tulisan sebelumnya lalu menggantinya.

Tak ada balasan lagi dari Nia. Mungkin dia sudah tidur karena setelah aku lihat jam ternyata sudah hampir pukul dua belas malam.

☆☆☆

Sebenarnya aku masih tidak percaya kalau Ana menyukaiku. Namun, setelah aku ingat-ingat apa yang pernah terjadi selama aku berada di restoran milik Arnoud, serasa hal itu benar adanya. Pantas saja saat aku pertama kali ikut di acara waktu itu, Ana meminta untuk berboncengan denganku, bahkan saat mengajakku ikut di acara itu, dia terlihat antusias dan senyumnya langsung mengembang ketika aku bersedia. Belum lagi saat pergi ke rumah Nanda, dia juga memintaku untuk berboncengan dan masih banyak acara-acara lainnya yang begitu. Aku bersedia berbocengan dengan Ana bukan karena aku ada rasa dengannya, hanya saja tidak enak hati untuk menolaknya, sedangkan aku memang tidak berboncengan dengan siapa-siapa.

Sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa orang lain, maka aku berusaha sebisa mungkin untuk bersikap dan berperilaku baik kepada siapa saja. Jadi memang bukan hanya kepada Nia saja yang pada dasarnya aku cintai, tetapi juga kepada siapa pun orangnya. Jika semua itu disalah artikan oleh Ana, sungguh aku tak bermaksud begitu. Aku tak bermaksud memberi harapan sedikit pun.

Dan seakan semua benar jika Ana memang memiliki perasaan denganku. Aku pun baru teringat kembali perkataan Nanda sebulan yang lalu saat kami pergi menonton di Amplaz. Saat di perjalanan, kebutulan aku berboncengan dengan Nanda, dia mengatakan sesuatu tentang Ana.

"Kakak sadar sesuatu, nggak?"

"Hah?" ucapku dengan nada bingung. Siapa yang tidak bingung jika ada orang yang tiba-tiba berkata seperti itu. Entah yang dimaksud sesuatu itu apa. Aku merasa memang tidak ada yang aneh dalam perjalanan kami. Laju sepeda motor pun masih nyaman-nyaman saja. "Maksudnya sadar apa, Nan?"

"Kayaknya Ana suka sama Kakak, deh?"

"Hah?" Kali ini ucapku terkejut. "Kok, kamu bisa bilang gitu?"

"Liat aja, setiap kali kita main, dia selalu ikut. Kelihatan banget dia kalau selalu bela-belain untuk ikut main."

"Loh, bukannya sekarang kita memang udah bertujuh, ya?"

Memang acara setiap Senin masih tetap berjalan, tetapi jumlah orang yang ikut semakin menyusut. Bahkan aku lihat seperti terbagi menjadi beberapa kelompok. Salah satunya kami yang beranggotakan aku, Nanda, Nia, Siti, Ana, Awan, dan Edi. Jadi jika Nanda berkata seperti itu, sepertinya itu mustahil.

"Aku itu cewek. Aku tahu mana yang seperti itu mana yang nggak. Dia itu nggak pernah main malam-malam kayak gini, tapi kalau ada Kakak, dia maksain untuk ikut."

Aku tercengang. Benar-benar seperti apa yang aku lakukan kepada Nia. Setiap kali ada acara dan ada Nia di sana, aku pun harus ada.

Aku harus mengambil keputusan. Masalah ini memang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Salah paham harus secepatnya diluruskan. Aku harus segera mengungkapkan isi hati.

●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●

Terima kasih telah membaca sejauh ini. Kalian hebat.

Mengejar Karunia [TERBIT]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum