Bab 23 - Sang Legenda

Start from the beginning
                                    

     Joshua mengernyit, tak mengerti. Dalam hal apa? Dalam hal membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi seorang penulis atau bagaimana?

     "Maksud bapak apa ya? Selama ini saya nulis sekedar mencurahkan apa yang saya lihat, saya pikirkan dan saya rasakan."

     Sontak Budiman menggaruk-garuk tengkuk. Tertawa kecut.

     "Kayaknya kamu salah nangkap yang saya bilang. Maksud saya, kamu bisa menuangkan pendapat-pendapat kamu dalam bentuk tulisan. Kalau orang beranggapan salah ketika memandang suatu kejadian atau situasi. Kamu bisa meluruskan anggapan orang-orang itu dengan telak."

     Pria renta itu berjongkok, segera memasukkan kembali setumpuk kertas HVS dalam lemari kecil. Kemudian berdiri tegak lalu melihat-lihat jejeran buku usang, menarik salah satunya.

     Dia berjalan menuju meja. Duduk manis di kursi seraya menarik tuas lampu sorot di atas meja.

     Joshua dengan penasaran mendekat, memperhatikan sebuah buku tebal usang di bawah pendaran cahaya kekuningan. Sampul buku itu bergambar tangan-tangan orang teracung ke atas. Tak lupa sebuah bendera merah putih berkibar di antaranya. Begitu selaras dengan judul, Katanya Negara Demokrasi. Kok Suara Rakyat Dibungkam?

     Hingga kedua netra Joshua terhenti ketika melihat bawah judul, terdapat sebuah nama penulis yang tak asing lagi baginya.

     "Tirto Koesno?" celetuk Joshua.

     Budiman menoleh sekilas, kembali menatap buku tersebut.

     "Betul. Buku ini adalah buku kumpulan puisi yang ditulis di era 90-an dan terkenal pada masanya."

     Budiman mengulas senyum lebar. Bernostalgia pada masa-masa itu untuk sesaat. Pikirannya mulai berkelana kemana-mana.

     "Tulisan dari Bung Tirto memang apik dan luar biasa. Penggunaan diksi yang pas. Tutur kata yang enak dibaca. Ditambah bahasa sindiran yang sangat halus sampai orang nggak sadar kalau beliau sedang menyindir dalam tulisan."

     Budiman tampak bersemangat untuk menceritakannya. Sementara Joshua masih diam menyimak dengan takzim.

     "Tapi dari semua itu. Ada yang nggak kalah penting. Beliau berhasil menulis pendapatnya melalui bait-bait puisi dan menjabarkan sudut pandangnya, dari apa yang dilihat, dipikirkan dan dirasakannya."

     Tangan Budiman mengusap-ngusap sampul buku yang sedikit berdebu. Lalu membukanya, menampilkan halaman pertama dari buku tersebut.

     Sekilas Joshua membaca. Dia angguk-angguk.

     Budiman benar, tulisan-tulisan Tirto Koesno sangatlah fantastis. Susunan bait-bait puisi itu seolah berapi-api. Mengobarkan jiwa sesiapapun yang membacanya sehingga membuat sebagian dari mereka terkesiap. Tak berani membantah tanggapannya lagi.

     "Beliau adalah legenda bagi negeri ini, Joshua. Sudah berapa banyak buku karyanya yang saya khatamkan, terutama yang satu ini. Jujur saja, Tirto Koesno pantas mendapatkan nobel dan penghargaan penyair terbaik!"

     Kali ini nada suara Budiman mulai meninggi seiring berjalan dia bercerita. Dia tampak menggebu-gebu dan napasnya memburu. Dia masih mengukir senyuman di wajah yang telah termakan usia.

     "Menurut saya, fakta ini cukup mengejutkan bagimu."

     Ruangan tersebut lengang sejenak usai Budiman bersuara.

     Budiman berdeham, setelah beberapa saat akhirnya berkata, "Tirto Koesno merupakan teman dekat Evans Chandra, ayahmu, Joshua."

     Itu sungguh hal di luar dugaan Joshua.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now