Pertemuan yang berulang

13 0 0
                                    

"Gak tau nih pulangnya kapan. Kayaknya tahun ini belum bisa pulang. Masih suasana adaptasi juga di lingkungan baru. You know lah, Aku yang dulu tipe rumahan banget. Jadi ini kayak semacam momenku untuk mulai mencari jati diri..hahaha.." Jelas Amel di sebrang telpon. Amelia, teman sekolah sekaligus teman semasa kecil Arawinda. Kini jarak memisahkan mereka. Amel memilih meneruskan kuliah di kota Bandung.

"Aku-nya gak seru kalau setiap ngobrol mesti lewat telpon gini. Kangen Amel sih" rengek Arawinda

"Halaaah... Dari kemarin juga di chatingan sama telpon bahasannya cowok yang kamu kira Habibie itu! Masih kepikiran kamu soal kejadian waktu itu? " Ucap Amel yang membuat hati Arawinda langsung mencelos.

"Mmm.... Gak kok" Sahut Arawinda dengan nada sedikit begetar ragu

"Yakin aku mah, kamu tuh sebenernya pikiran. Aku tau banget kamu gimana.. Hahaha.... " Ledek Amel

"Jangan-jangan kamu juga suka lagi sama Habibie? Eh suka beneran apa karena kebawa jadi suka karena kemarin dia nembak kamu? " Sambung Amel

"Nggak kok.. Seriusan. Mungkin Aku kayak penasaran aja kali yah namanya dulu kita temenan. Ah.. Udah jangan bahas lagi. Kangen sih sama kamu, pengen jalan-jalan bareng gitu.. Ah, tapi kamu mah sibuk sekarang udah jd mahasiswi" Sahut Arawinda

"Lanjut besok yah, aku masih harus rapih-rapih ini. Udah jam 10 malem juga, Ra" Ajak Amel

"Oke.. "

Amel dan Arawinda pun mematikan telpon mereka. Dirinya tersentil dengan apa yang telah diucapkan Amel. Mungkin jauh di dasar hati Arawinda, Ia masih penasaran dengan Habibie yang tiba-tiba mengutarakan perasaannya. Karena hal itu pengalaman pertama baginya. Ia yang memang tak pernah menjalin asmara, dibuat gundah oleh hal itu.

Arawinda merapihkan selimut Anisa yang berantakan, kaki Anisa mencuat dari balik selimut. Tangannya memegang buku novel yang dibacanya hingga ketiduran. Ia pun membenarkan letak kepala Anisa diatas bantal.

"Selamat tidur gadis hebat" Arawinda membisikkan kalimat positif di telinga kiri Anisa. Ia begitu menyayangi adik-adiknya. Ia rela menunda cita-citanya demi mendedikasikan dirinya membantu perekonomian keluarga, sekalipun Ayah dan Ibunya bersi kukuh agar Ia tidak perlu ikut campur dalam masalah perekonomian keluarga.

Bukannya tidur, Arawinda keluar dari kamarnya. Dilihatnya Ayah dan Ibunya sedang berbincang di depan TV sembari Ibu memijat pundak Ayahnya. Arawinda pun menghampiri mereka.

"Capek Yah?" Tanya Arawinda

Ayahnya hanya tersenyum

"Capeklah sayangku, ini buktinya Ayah minta di pijit" Seru Ibu

Ayah pun kembali tersenyum

"Gimana hari ini Yah? "tanya Arawinda

"Biasa, pada ngambil bajunya tapi bayarnya minta di cicil tiap minggu selama dua bulan" Jawab Ayah santai

Arawinda terkejut, berdagang pun tak semudah yang Ia kira. Ia tau betul, modal berdagang orang tuanya didapat dari sisa-sisa uang pesangon Ayah. Sedari dulu kedua orang tuanya sudah terbiasa hidup hemat, bukan tak bersyukur namun penghasilan Ayah saat bekerja pun hanya pas-pasan untuk kehidupan keluarga mereka.

"Gimana kerjamu?" tanya Ibu

"Alhamdulillah, lancar bu. Senior juga baik-baik semua"

"Tapi anak Ayah terlihat makin kurus?" tanya Ayah bingung

"Iya, Yah. Mungkin aq kaget dengan ritme dunia kerja. Hahaha.... " Jawab Arawinda menenangkan

Mereka bertiga pun akhirnya bercengkrama melepas penat dan berbagi cerita akan hari yang berhasil dilewatinya.

ArawindaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz