Ibu mendesah, "Ya udah sini, biar ibu aja."

Aku menaruh pisau dan bawang merah yang tadi kupegang.

"Cuci muka sana."

Aku segera mencuci mukaku dan kembali ke dapur.

"Bu, yang tadi serius?" kataku mempertanyakan ucapan ibu sebelumnya.

"Kerumah Bima? Iya serius. Waktu itu Bima pernah nganterin makanan untuk kita. Ya, gak ada salahnya 'kan nganterin makanan juga kerumah dia. Kalau Naira mau, sekarang kita masak agak banyakin untuk dibagi ke Bima."

"Mau, Bu. Mau." responku semangat.

"Hm. Kerumah Bima aja semangat, tadi waktu ngelipet baju malah pura-pura tidur."

Aku menyeringai saja tanpa rasa bersalah.

"Hehe. Ngantuk, Bu."

"Yasudah, tempenya digoreng, biar cepet ketemu Bimanya." ujar Ibu menggodaku.

"Ih Ibuuu."

***

POV Bima

Hari ini, aku berjanji untuk bertemu dengan Nayla di sebuah coffe shop. Nayla memilih tempat untuk bertemu di kafe yang sangat familiar bagiku. Bagaimana tidak? Kafe itu adalah milik Jordan, teman SMA ku sekaligus saksi dari persembunyianku dibalik hidup Naira. Aku setuju untuk menemuinya, karena mau tidak mau, rencana yang sudah berantakan ini tetap harus diselesaikan.

Aku sampai di kafe Jordan, ternyata Nayla sudah berada disana duluan dan sedang berbicara dengan Jordan, mereka tampak akrab sekali.

"Hei, brother!" sapa Jordan diiringi dengan tos kepalan tangan yang biasa kami lakukan. Kemudian, aku duduk di samping Nayla, tepatnya didepan bar kafe.

"Udah saling kenal?" tanyaku gamblang.

"Bukan saling kenal lagi, Bim. Gw sama dia-udaaah, udah itu," Jordan menautkan kedua jarinya.

"Pacaran?" tanyaku spontan.

"Lebih." sahut Nayla.

"Lebih? Maksudnya kalian berdua udah gitu-gituan?"

Nayla memukul lenganku, "Maksud, lo?"

Aku menyeringai saja dengan lugu, memang bermaksud menggoda mereka.

"Ya maksudnya, gitu-gituan itu-udah lamaran dan segala macem, gitu,"

"Gak usah sok positif, Bim. Gw tau isi otak lo" ujar Jordan sangat jujur.

"Haahahahaha."

Mereka memamerkan cincin yang melingkari jari manis mereka kepadaku.

"Nih, liat."

"Halah, pamer. Liat aja nanti gw nyusul." ujarku.

"Nyusul? Sama Naira?" tanya Nayla.

Aku bergeming. Aku baru menyadari bahwa hubunganku dengan Naira tidak mungkin bisa sampai ke jenjang itu, cepat atau lambat-hubungan yang seharusnya tidak pernah tercipta ini, akan kandas. Mungkin besok, lusa atau nanti—yang jelas hubungan kami sejauh ini adalah bukan sebenar-benarnya kebahagiaan.

"Entahlah." jawabku enteng.

"Gimana soal naskah? Mau dibicarakan sekarang?"

"Gak usah di publish, gw gak butuh itu. Rencana gw udah gagal, naskah itu hanya ditujukan untuk Naira aja bukan untuk khalayak. Kita sudahi sampai disini terkait naskah." jelasku kepada Nayla.

"Sebentar. Segamblang itu lo terus terang ke gw? Lo yakin banget kalau gw udah tahu permasalahan di naskah ini?"

"Gw gak bodoh, La. Gw langsung bisa baca situasi sekarang. Lo pasti tahu penulis bumimu itu adalah gw karena Jordan ngasih tahu lo kan?" Aku melirik Jordan.

BARA [END]Where stories live. Discover now