Lara

37 3 1
                                    

POV Naira

Aku sudah tidak mau mendengarkan penjelasan apapun lagi. Bagiku, semuanya sudah cukup jelas, naskah yang ditulis Bima telah menceritakan semua yang terjadi di masa lalu. Semuanya berawal dari ayah dan perempuan ayah itu mengadopsinya. Aku paham, ini bukan sepenuhnya salah Bima, namun tidak menutup kenyataan bahwa ialah sang pengubur kejelasan itu, oh tidak! Bukan hanya Bima, namun perempuan itu juga. Seandainya mereka memberitahu apa yang terjadi pada ayah dulu, seandainya mereka memberi kabar kepada ibu dan aku bahwa ayah telah meninggal karena kecelakaan, maka aku tidak akan menjalani hari dengan terus menunggu kepulangan yang nyatanya tak akan pernah datang. Dan ibu, maka ibu tidak akan menjalani hari dengan benci yang sebegitu tumpah ruahnya karena menghadapi kenyataan bahwa ayah telah pergi dengan tidak bertanggung jawab.

Belum jauh aku berlari meninggalkan rumah kepedihan itu, Bima menyanggah tanganku.

"Naira, aku tulus mencintai kamu." Ia berujar seraya menahan tanganku di genggamannya, "aku mencintai kamu dari serangkaian hari yang telah kita jalani, bukan karena rasa bersalahku di masa lalu."

"Serangkaian hari katamu? Serangkaian hari yang penuh kebohongan dan sandiwara? Iya? Itu maksudmu?"

"Nai-"

"Sudahlah, Bim. Biarin aku hidup dengan tenang ya. Udah cukup kepahitan yang aku alami dulu, dan udah cukup juga kamu bohongin aku selama ini. Sekarang, udah ya. Udah, Bim. Aku udah gak kuat!" Aku mengatakannya dengan linangan air mata, dengan emosi yang tak kian surut, juga dengan isi kepala yang memporak-porandakan suasana.

"Nai, kamu gak percaya sama aku lagi?"

"Apa yang pantas aku percayai darimu lagi, Bim?" Aku berujar padanya dengan suara yang sangat lemas.

"Nai, kita bisa ngomongin ini baik-baik. Kita bisa nyelesain semuanya,"

"Sudah, Bim. Aku udah gak peduli lagi. Gak ada yang benar dari kita, semuanya salah, semuanya gak pantas, Bim. Hubungan apa yang kita jalani ini? Sepasang kakak adik yang pacaran? Semua tentang kita gak ada yang benar, Bim!"

"Aku tahu hubungan kita salah, aku tahu seharusnya diantara kita enggak ada cinta dan enggak ada hubungan yang tercipta. Aku juga tahu kalau aku enggak pantas mendapatkan maaf dari kamu. Tapi, Nai kasih kesempatan aku dan ibu untuk menjelaskan semuanya secara langsung kepada kamu dan ibumu. Ya, Nai?"

"Lakuin apa yang mau kamu lakuin. Aku udah enggak peduli lagi!"

Aku menghempaskan genggamanya. Sekarang, aku menyadari bahwa kami bukanlah sepasang nyawa yang layak hidup pada dunia yang sama. Ia yang telah banyak memberikan aku kebahagiaan selama ini, nyatanya hanyalah tokoh fiksi atas dramanya sendiri. Lagi, aku tersakiti oleh laki-laki yang aku sayangi untuk kedua kalinya. Tidak bisakah, Tuhan, aku hidup dengan cinta seorang lelaki yang tulus dan jauh dari kebohongan? Tidak bisakah aku merasakan itu, bukan untuk sebentar, bukan untuk sementara, tapi untuk jangka waktu yang panjang, yang—aku pun sendiri tak tahu sampai kapan ia akan terus menyayangi.

Aku berjalan sampai halte, di halte aku masih tersedu, masih tidak terima dengan jalan cerita hidupku sendiri. Banyak mata dari para penunggu bus menyorot padaku, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menangis merutuki nasib yang terus berulang. Aku tahu Bima membuntutiku, aku tahu benar kalau ia tidak akan membiarkanku pulang sendirian. Sehari sebelum hari ini, mungkin aku senang. Tapi sekarang, hanya amarah dan rasa benci yang aku punya.

Oh Tuhan, sungguh sempurna takdir hidup yang Kau rancang untukku. Ingin rasanya aku bertepuk tangan dengan meriah saat ini. Ingin rasanya aku meniup terompet dan meledakkan petasan untuk merayakan hidupku yang sekali lagi menjadi kelabu. Mengapa hidupku selalu berteman dengan kalut dan semrawut? Tidak bisakah hidup hanya berteman dengan suka tanpa adanya luka? Tidak bisakah hidup hanya berteman dengan tawa tanpa adanya duka? Mengapa harus menjumpai rumit, menjemput lara dan akrab dengan air mata? Tidak bisakah hidup hanya diwarnai dengan tawa dan bahagia?

BARA [END]Kde žijí příběhy. Začni objevovat