12. Cahaya Bulan

1 1 0
                                    

"Riri gak pulang?" Ari tiba-tiba ikut bergabung denganku dan bunda menonton tv.

Aku menatap nyalang pada Ari. "Ari ngusir Riri?" tanyaku dengan nada tak terima.

Ari hanya mengedikkan bahunya, aku memutar bola mata. "Bukannya Ari sendiri yang nyuruh Riri ke sini, ya?"

"Udah-udah, kalian itu ribut terus, mending akur-akur lebih seru, ribut gak ada manfaatnya." Bunda bersuara, membuatku fokus pada tv lagi, mematuhi ucapan bunda.

Kudengar Ari mendengkus, aku meliriknya. "Bun, aku mau ke kamar Ari ya," izinku dan bunda mengangguk.

Aku mengembangkan senyum dan dengan semangat aku melangkah masuk kedalam kamar Ari, Ari tak protes memang ia tahu jika aku memang nyaman berada di kamarnya.

Aku menyimpan kembali tas kecilku di atas meja belajar. Aku duduk di meja balajar Ari, tanganku tak mau diam. Aku menyusuri buku-buku di atas meja Ari. Aku mengambil lembaran-lembaran kertas, aku melihat-lihat karya hasil Ari, banyak sekali sketsa, sangat bagus. Aku membukanya hinggal lebar kertas terakhir. Satu kata saat aku melihat-lihat karya Ari— keren.

Aku merapikan kembali kertas-kertas yang berisi karya Ari itu dan menyimpannya di tempat semula. Sekarang kakiku melangkah menuju kasur, tanganku menggapai laptop yang berada di atas nakas dekat kasur.

Aku membukanya, dan menyelusuri setiap isinya, siapa tau ada sesuatu yang baru di sini, tapi sepertinya tidak ada, aku pun memutuskan untuk menonton drama Korea di laptop Ari ini

Entah sudah berapa lama aku menonton, aku melihat jam yang berada di dinding kamar Ari. Sudah dua jam aku menonton, aku meregangkan tanganku. Aku merasa pegal karena sedari tadi menjadi penyangga kepalaku. Aku mematikan laptop dan menyimpan kembali di atas nakas dan pada saat itulah aku melihat Ari masuk kedalm kamar.

"Kebiasaan," ucap Ari.

Ari menghampiriku dan mengembangkan senyumnya, aku berdiri kaku karena senyum Ari tak seperti senyum jahil, tapi lebih ke snyum menyeringai dan memandang mataku nyalang.

Aku berusaha tersenyum seperti Ari dan menatap Ari seperti menatapku, tapi sepertinya usahaku gagal karena dengan tiba-tiba Ari tertawa.

"Riri gak usah ikut-ikut gaya baru Ari," ucapnya sombong, masih ada sisa kekehan di sana.

Aku memutar mata malas, "Jadi itu gaya baru Ari? Ah, gak keren."

"Kalo gak keren, mana mungkin tadi Riri sempet diem dan sedikit melotot mengagum saat natap Ari." Ari berucap dengan percaya dirinya yang tinggi. Aku terdiam mendengar ucapan Ari, ada benarnya juga, karena saat aku melihatnya aku terpaku dengan bibirnya yang melengkung berbeda dari biasanya dan mata yang tajam itu.

Aku menggelengkan kepala, kakiku melangkah membuka pintu balkon, diluar sudah gelap aku tebak sekarang sudah pukul delapan malam, kulihat langit yang ditaburi bintang dan sebuah bulan. Aku duduk di satu kursi yang ada di balkon itu. kulihat Ari ikut duduk di kursi sebelah.

"Riri gak mau cari pengganti si Dito?" tanya Ari tiba-tiba, aku menengok kearah Ari.

Aku menggelengkan kepala. "Entahlah, Ari, sepertinya gak ada hubungan yang serius di masa remaja kaya gini."

Ari tertawa renyah. "Emang gak ada, Ri, kita itu masih muda, jadi ya nikmatin aja."

Ya, aku tahu itu, tidak ada hubungan yang serius. "Eh, Ari, tapi sepertinya Riri ada niat buat suka sama cowok lain, deh!"

Sepertinya menyukai seseorang secara diam-diam seperti yang di lakukan oleh perempuan lain dia ada Ari itu menyenangkan, heh, bukan berarti aku akan menyukai Ari, ya. Aku akan mencari laki-laki lain yang ada di sekolahku.

Farhan? Ah, dia terlalu apa ya? ... ehm, entahlah. Aku tidak mengenal banyak laki-laki di sekolah, aku akan meminta bantuan Windha!

"Gak boleh, kalo pun ada cowok yang Riri suka itu harus Ari," protes Ari. Aku melotot mendengarnya, tapi aku mengembangkan senyumanku lagi.

"Udah dari lama Riri suka sama Ari, mungkin sejak kita kecil juga Riri suka sama Ari ... yang tadi Riri maksud suka sama cowok lain itu kaya cewek-cewek yang suka sama Ari diem-diem itu, kayanya itu seru Ari."

"Serius Riri suka sama Ari?" tanya Ari. Matanya berbinar.

Ya, lagian aku tidak punya alasan untuk tidak suka padanya, Sejak kecil Ari sesalu bersamaku, bahkan Mama dan Bunda sangat Akrab, sejak dulu aku dan Ari memang lebih sering bertengkar, tapi itulah yang menyenangkan.

Aku dari kecil hingga sekarang masih sama cengeng, bedanya jika dulu Ari lebih pendek dariku dan sekarang Ari lebih tinggi dariku. Aku dan Ari satu SD yang sama bahkan sekelas, pas SMP kita juga satu sekolah yang sama, waktu mau masuk SMP aku dan Ari sempat berbeda pendapat untuk masuk SMP yang mana dan pada akhirnya Bunda yang memutuskan SMP yang akan kita tempati, hingga sekarang kita masih satu SMA yang sama, nggak ada yang membosankan walau memang terlihat seperti itu terus, kadang selalu ada saja suasana baru diantara kami.

"Iya, Riri suka sama Ari."

"Yeah, Ari juga suka sama Riri," ucap Ari sambil mengelus kepalaku lembut.

"Apa yang Ari suka dari Riri?" tanyaku mengangkat satu alis.

"Ehm, Riri itu cantiknya natural, gak kaya cewek-cewek lain,  Riri imut, lucu, gemesin, baik, lembut, senyumnya juga Ari suka, Riri penyabar, cerewetnya Riri juga Ari suka, pipinya Riri, rambutnya Riri—"

"Kayanya banyak banget, ya, Ari?" potongku dengan pertanyaan.

Ari terkekeh. "Iya, banyak banget, Ri." ucap Ari. Tiba-tiba wajahku memanas, desiran aneh itu datang lagi.

"Jangan diterusin," ucapku. Ari tertawa.

"Ok, sekarang Riri, Apa yang Riri suka dari Ari?"

"Semuanya yang ada di Ari, kecuali playboynya, ya," ucapku mendelik.

Ari tak merespon, ia hanya sedikit terawa yang membuatku langsung memutar bola mata.

Aku menghela napas, kupandang langit gelap itu, angin malam yang sejuk menerpa wajahku menerbangkan helaian rambutku yang tak ikut terikat.

Kurasakan tangan Ari menggapai tengkukku, tangannya merayap naik membuatku menggeliat kegelian, tangan Ari melepaskan ikatan rambutku sehingga rambutku tergerai.

"Ari, kenapa bulan terkadang hanya bersinar setengah saja?" tanyaku.

Aku menengokkan kembali kepalaku kearah Ari, ternyata Ari sedang memandangku juga, mungkin sendari tadi ia melihatku.

"Karena terkadang sinar yang sebelahnya lagi itu duduk disebelah Ari," ucap Ari lembut ditelingaku.

Wajahku memanas kembali. "Ih, apa-apaan sih, Ari? Serius dong, Ari jangan pake gombalan murahan playboynya ke Riri, gak akan mempan."

"Ya, Ari playboy, tapi Ari gak pernah gombal ke cewek lain, Ari gonta-ganti pacar itu karena banyak yang ngantri, cuma Ari senyumin aja mereka klepek-klepek, Ri, dan yang tadi Ari ucapin itu bener kok," ucapnya.

Aku memutar bola mata jengah, "masa sih?"

"Hem, iya, Riri itu bulannya kehidupan Ari dan Bunda adalah mataharinya," ucap Ari yang terdengar begitu tulus di telingaku.

Aku bangkit berdiri, aku menghadap Ari yang sedang duduk. "Ari, berdiri," perintahku. Ari mengedikan bahunya, tapu menuruti perintahku.

Tanpa Aba-aba aku langsung memeluk Ari. Aku menjerit di dalam pelukannya, Ari membalas pelukanku.

"Ari itu sahabat Riri yang paling-paling luar biasa!!!" teriakku.

"Iya, Ri, tau kok, tapi jangan teriak-teriak juga, telinga Ari panas nih," protes Ari. Aku melepaskan pelukannya tapi Ari tidak, aku menjauhkan wajahku, aku terkekeh kecil dan mengucapkan maaf tanpa suara.

Ari tersenyum dan membenamkan kepalanya di ceruk leherku, aku kembali memelik Ari. Memeluknya dan pelukannya membuatku sangat damai, nyaman dan juga merasa sejuk.

Sepertinya aku akan mengurungkan diri untuk menyukai laki-laki lain di sekolahku, karena nyatanya hanya ada satu orang laki-laki yang aku butuhkan, yaitu Ari.

***

Him or Him? Where stories live. Discover now