9

124 11 0
                                    

Shiva dan Amilia memandang seorang laki-laki muda yang duduk di hadapan mereka. Laki-laki itu ingin membeli rumah mendiang Joni untuk dijadikan museum horor.

"Kalau harganya saya naikin gimana, Mbak? Setuju?" tanya laki-laki tersebut.

Shiva menggeleng tegas. Ia dan Amilia tidak berniat untuk menjual rumah ini. Rumah ini menyimpan banyak kenangan tentang kedua orang tua mereka. "Nggak bisa, Mas Albert. Kami nggak berniat untuk menjual," tolaknya sopan.

Albert sudah berkomunikasi dengan Shiva selama lima hari terkahir. Ia terus memohon agar Shiva mau menjual rumah mendiang ayahnya. Akan tetapi, Shiva tetap kekeuh dan tidak berniat menjual rumah lama mereka.

Albert berniat akan menjadikan rumah ini sebagai museum pribadi. Ia akan menyimpan barang-barang keramatnya di rumah ini. Selain dijadikan museum, rumah ini juga akan ia gunakan untuk buka praktek spiritual.

Sebelumnya ia sudah membuka praktek di sebuah apartemen, akan tetapi di sana kurang laris. Ia percaya, tempat pun bisa berpengaruh terhadap kelarisan sebuah usaha. Kalau tempat prakteknya angker, otomatis kredibilitasnya di mata masyarakat akan naik.

Amilia melirik kakaknya yang duduk persis di sebelahnya. Sedari tadi ia hanya diam saja karena Albert tidak mengajaknya untuk bicara. Entahlah, mungkin Albert melihatnya sebagai anak kecil yang tidak bisa diajak bernegosiasi.

"Mas Albert, saya nggak berniat untuk menjual rumah ini," tegas Shiva. Ia sedang mengusir Albert dengan halus. Ia ingin agar Albert segera pulang. Ia sudah lelah menghadapi Albert yang keras kepala. Sudah dikatakan rumah ini tidak dijual, tapi laki-laki usia kepala tiga itu terus saja memohon-mohon.

"Mbak Shiva, coba dipertimbangkan lagi. Rumah ini kosong, nggak ditempati. Mubazir," ujar Albert sambil menatap Shiva lekat-lekat.

"Maaf, Mas Albert, kami nggak akan menjual rumah ini. Rumah ini akan segera kami tempati kembali," sahut Amilia yang sejak tadi hanya diam. Ia sudah gerah dan tidak bisa menahan untuk tidak bicara.

Albert melirik Amilia sekilas, kemudian ia kembali menatap Shiva. "Tolonglah, Mbak Shiva," mohonnya dengan ekspresi memelas.

Amilia yang melihat itu, menjadi geram bukan main. Dia ini manusia, lho. Menjaga Albert tidak menganggapnya ada? Kurang ajar sekali tamu sialan ini.

"Maaf, Mas Albert. Kami ada urusan," ujar Amilia dengan suara yang tidak bersahabat.

Baru saja Albert hendak membuka suara, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari lantai atas.

"Papa kamu datang," lirih Albert sambil menatap Shiva.

Amilia semakin garam dibuatnya. Albert benar-benar kurang ajar, sama sekali tidak menganggapnya ada. Apa salahnya mengatakan 'Papa kalian' yang artinya ditujukan kepada ia dan sang kakak? Ini tidak, Albert hanya mau berbicara dengan Shiva.

Wus!

Angin dingin menerjang wajah mereka bertiga. Shiva dan Amilia yang sudah terbiasa melihat penampakan ayah mereka, sekarang sudah bisa tenang. Kakak beradik itu tidak panik seperti dulu.

"Papa?" lirih Amilia saat melihat sosok ayahnya berdiri di sudut ruangan. Ayahnya itu menatap tidak suka ke arah Albert.

Dengan gerakan secepat kilat, Joni terbang dan lantas mencekik Albert. Kemudian Joni juga memuntahi Albert dengan darah segar.

"Ma-maaf. Iya, aku nggak akan ganggu anak kamu lagi. Aku nggak jadi beli rumah ini," ujar Albert dengan ketakutan.

Mendengar janji Albert, Joni langsung melepaskan cengkeramannya pada leher Albert. Hantu laki-laki itu lantas hilang dari pandangan.

Pukul Dua Dini Hari (Selesai)Where stories live. Discover now