Calon Mertua

7.7K 878 154
                                    



"Ketika calon mertua sudah memberikan tanda tidak sreg, sebaiknya kita mundur teratur."








AKU membuka tempat puding sambil menata piring kaca besar untuk memindahkan pudingnya. Dapur keluarga Mas Hansa besarnya sama seperti di majalah-majalah desain interior, dengan gaya French Shabby Chic yang ukirannya meliuk-liuk, gagah dan gendut bentuk semua sisi perabotnya. Didominasi warna broken white, rumah keluarga Mas Hansa tampak seperti rumah orang kaya... baru. Lambang kesuksesan orang Indonesia, tiang rumah besar bagai menahan beban hidup satu provinsi, dan perabot Eropa zaman Napoleon Bonaparte! Lampu menjuntai-juntai jangan lupa, lantai dari marmer yang juga fotogenik jika difoto. Entah bagaimana cara membersihkannya. Dari dapur, terlihat gazebo, tempat barbeque, yang mejanya sudah dihias dengan taplak renda putih kombinasi gold. Geser ke kanan, ada kolam renang yang ukurannya 1,5 x 4 meter. Kadang aku bingung apakah ada yang bisa berenang di situ. Kayaknya sekali buka tangan langsung sampai di ujung kolam.

Meskipun mesti bolak-balik Alam Sutera–Sudirman Jakarta, Mas Hansa tidak pernah lelah. Kata dia, kalaupun mesti beli apartemen di Jakarta, harus yang besar, karena dia tidak suka gaya interior minimalis. Mas Hansa kurang ngaca sebetulnya, toh tabungannya minimalis.

Ibu Mas Hansa masuk ke dapur. Kalung mutiaranya antigeser, sasak rambutnya yang tinggi antiturun. Dua tahun aku berpacaran dengan Mas Hansa, tidak sekali pun ibunya luput mengkritik apa pun tentang diriku tiap kali kami bertemu.

"Puding apa nih? Suruh Mbak aja yang beberes," katanya menghampiriku.

"Nggak apa-apa, Tante. Ini gampang kok." Aku memotong puding dengan sarung tangan plastik.

Ibu Mas Hansa mengamati di sampingku. "Cokelat susu, ya?"

Aku tersenyum. "Iya, Tante. Tapi nggak terlalu manis sih. Kata Mas Hansa, Tante nggak suka manis."

Ibu Mas Hansa mengangguk. "Iya, tapi ini nanti paling dimakan sama anak-anak."

Artinya, ibu Hansa tidak ingin mencoba? Biar dimakan oleh keponakan-keponakan Mas Hansa?

Aku tersenyum lagi. "Iya, ini saya potong biar gampang nanti anak-anak ambilnya."

Manut saja. Toh memang aku selalu salah. Tahun lalu aku bawa dimsum, kata ibu Mas Hansa, "Duh, Mama bosan. Kemarin sudah seminggu pesan dimsum dari teman Mama."

Jadi akan selalu salah. Manut saja.

Ibu Mas Hansa bergeser satu langkah menjauh dariku. Dia mengamatiku dari atas sampai bawah. Aku yang menyadarinya jadi tersenyum salah tingkah.

"Kenapa, Tante?" tanyaku gelagapan.

Ibu Mas Hansa berpikir sebentar. "Kayaknya baju kamu begini semua, ya?"

Dress selutut, lengan panjang, warna khaki, yang tentu saja kupakai beberapa kali. Hanya kombinasi tatanan rambut atau aksesori saja yang kubedakan. Aku memang tidak memiliki anggaran khusus untuk beli baju, bahkan kaftan Lebaran kupakai sampai tiga kali, baru beli lagi. Apalagi dress untuk acara khusus dan undangan pernikahan.

Dalam setahun, sepertinya hampir tiap minggu ada acara keluarga Mas Hansa. Ada acara ulang tahun Ibu, ulang tahun Bapak, ulang tahun pernikahan Ibu dan Bapak, ulang tahun keponakan pertama, ulang tahun keponakan kedua, ulang tahun keponakan ketiga, ulang tahun Mas Hansa, ulang tahun kakak Mas Hansa, ulang tahun kakak ipar Mas Hansa, buka puasa bersama, Lebaran, acara tahun baru, arisan keluarga (yang sebenarnya kenapa perlu arisan, toh kakak Mas Hansa tinggal persis di sebelah rumah kedua orangtua Mas Hansa, dan Mas Hansa tinggal bersama kedua orangtuanya). Belum lagi urusan persepupuan, pertantean, perpamanan. Ada lagi undangan makan siang atau makan malam bersama ibu dan bapak Mas Hansa yang hampir selalu ada setiap minggu. Kalau ada seragamnya, mungkin aku lebih baik pakai seragam. Dalam dua tahun ini, mungkin aku lebih banyak menghabiskan akhir pekan bersama keluarga Mas Hansa ketimbang keluargaku sendiri. Kalau setiap acara aku harus ganti baju, tentu lemari di kamar ukuran pembantu yang kutempati sekarang akan meledak, dan tidak ada uang yang bisa kutabung. Boro-boro nabung, mungkin aku harusnya sudah dikejar-kejar debt collector karena berutang sana-sini.

Home Sweet LoanWhere stories live. Discover now