Spending Behaviour

5.3K 929 156
                                    

2 bab yang terakhir diunggah!

🤍🤍🤍🤍

Selamat malam mingguan!

Xoxo,

Ratucungpret,

****

"Hal pertama yang dilakukan untuk membenahi keuangan bukan merencanakannya, tapi memperbaiki tabiat 'belanja'."




AKU menelaah tiga keranjang bujet di Excel: primer, sekunder, dan tersier. Keranjang keuangan primer alias kebutuhan pokok memakan seperempat total gajiku yang tak sampai dua digit. Keranjang kebutuhan pokok ini tentu saja biaya hidup, mulai dari pulsa, makan, bensin, pencadangan amortisasi biaya STNK, perawatan bengkel berkala, asuransi mobil, asuransi kesehatan, serta kontribusi untuk bantu Ibu dan Bapak terkait biaya rumah. Asuransi kesehatan? Iya, asuransi kesehatan untukku penting, karena kalau sampai ada apa-apa, yang tentu saja amit-amit, tabunganku yang sudah kubangun susah payah ini tidak akan habis jadi kuitansi, dan tentu saja tidak akan menyusahkan Ibu dan Bapak.

Kebutuhan sekunder memakan delapan persen dari gaji total. Pos ini untuk amortisasi perawatan kulit bulanan, makan bersama teman dua kali dalam sebulan, kontribusi pacaran selama sebulan, beli buah tangan untuk keluarga Mas Hansa, yang porsinya makin lama makin besar, dan semakin lama kesenangan untukku sendiri semakin kecil.

Kemudian kebutuhan tersier yang entah untuk apa, pokoknya dicadangkan saja daripada kaget. Kalau memang tidak diperlukan, bisa ditabung. Biasanya sih terpakai untuk acara keluarga Mas Hansa. 
Sebelum Mas Hansa hadir dalam hidupku, porsi sekunderku hanya tiga persen, dan porsi tersierku tidak ada sama sekali. Jumlah yang bisa kutabung menyusut drastis. Untung saja, pekerjaan sampinganku menjadi model ada hasilnya.

Mungkin para perencana keuangan itu lupa, bahwa pacaran atau bahasa halusnya membina sebuah hubungan adalah investasi berisiko tinggi. Hasilnya belum tahu, tapi investasi saja dulu.

Alarmku berbunyi, tanda aku harus bersiap-siap turun dan menyiapkan semuanya. Ulang tahun ibu Mas Hansa! Aku bergegas menelepon Mas Hansa. Tiga kali dering, telepon diangkat.

"Mas sudah di mana?" tanyaku.
"Sudah dekat," jawab Mas Hansa.

Sudah dekat versi Mas Hansa paling baru masuk tol. Entah sarkasme atau tidak, yang jelas Mas Hansa benar-benar tidak mau menungguku barang sedetik. Padahal Mas Hansa juga jarang diklakson mobil, lebih tepatnya, aku yang lebih sering menunggu dia.
Aku mengoleskan lip balm tebal di bibir. Ada Natya di sana, sedang duduk di karpet elastis anak-anak sambil selonjoran.

"Eh, Kal, mau ke mana pagi-pagi?" sapa Natya. Dia sebaya denganku, jadi agak aneh kalau harus kupanggil kakak, dan dia juga tidak begitu suka dipanggil kakak.

Natya dulu nikah muda, baru lulus kuliah langsung dipinang Kak Kanendra yang saat itu merasa sudah siap menikah. Padahal Kak Kanendra nyaris di-DO di umur 25. Kemudian dia bertemu Natya dan kembali menemukan semangat hidup. Terdengar seperti candu, bukan? Entah apa yang ada di kepalanya. Ibu dan Bapak sudah kepalang pusing. Kak Kanendra pernah diusir juga dari rumah, tapi tidak berhasil. Dia baru lulus kuliah di umur 26, dan bekerja sebagai staf di salah satu perusahaan MLM di Jakarta, bagian logistik. Dua tahun lalu dia menjadi manajer logistik. Keberatan jabatan nyatanya tidak punya pengaruh banyak pada slip gaji.

Natya bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan BUMN di Jakarta. Sejak Kaivan lahir hingga sekarang, Kak Kanendra dan Natya ngotot ingin tetap bekerja, sehingga Kaivan diurus Ibu. Meski Ibu sudah kepayahan.

Sejak itu aku tidak pernah suka Natya maupun Kak Kanendra. Tapi dunia ini memang pelik. Gaji Kak Kanendra dan Natya kalau digabung tak terlalu banyak. Bayar uang sekolah Kaivan, bayar ongkos bensin, bayar pulsa ponsel, internet, listrik, makanan, dan setengah cicilan mobil (karena setengahnya lagi disubsidi oleh Ibu dan Bapak) yang akhirnya lunas di ulang tahun Kaivan yang kelima. Bayar jalan-jalannya Kaivan, meski itu hanya ke Taman Bermain di Serpong. Vaksin Kaivan, dan entah apa lagi. Kata Ibu, selama ini Natya dan Kak Kanendra berhasil menabung maksimal dua juta tiap bulan (ingat ya, maksimal), dan tiap kali dapat bonus selalu ditabung. Kebayang kan kalau mereka harus bayar babysitter yang gajinya mungkin hampir dua juta, belum termasuk makanan dan belanja pembalut, sabun, sampo, detergen, baju suster baru. Atau kalau Kaivan harus masuk ke daycare di Jakarta yang biayanya empat juta sebulan. Bisa-bisa tak ada lagi yang bisa ditabung. Uang mereka hanya cukup untuk membeli rumah kecil radius lima puluh kilometer dari Jakarta. Mungkin di Bojong Gede, Citayam, atau Parung, yang tentu saja tidak mungkin akan mereka lakukan karena pertanyaan selanjutnya adalah, berapa lama perjalanan mereka ke kantor? 

Home Sweet LoanWhere stories live. Discover now