Drama baris berbaris telah usai, kami telah diizinkan masuk, karena barisanku terakhir yang masuk kelas jadi bangku-bangku yang menurutku tempat ternyaman telah diisi, aku menghela nafas, gara-gara OSIS yang sok galak itu aku jadi kehilangan posisi ternyaman, mataku menelusuri isi kelas, tinggal tersisa bangku yang berhadapan pas sekali dengan meja guru, ah siapa yang mau duduk di posisi itu, aku yakin semua siswa pasti tidak mau.

Dengan terpaksa aku berjalan ke bangku itu, dan mendapati salah satu teman yang tidak kukenal telah menduduki bangku terseram itu, aku mendekatinya dan berbicara dengan malu-malu. "Maaf apa saya boleh duduk di sini?."

Ia tersenyum lalu mengangguk dan menggeser tasnya yang ia taruh di calon tempat dudukku, aku membalas senyumannya lalu duduk di bangku itu, "Siapa nama kamu?" ujarku agar lebih dekat, tidak mungkin kan kalau tidak tahu nama teman sebangku?.

"Namaku Lia, namamu siapa?" tanyanya dengan tangan yang ia silakan di meja seraya tersenyum ramah kepadaku.

"Nama saya Ana," sambungku seraya mengambil buku catatan yang diperintahkan kakak OSIS.

Teman sebangkuku itu hanya mengangguk saja dan tidak melanjutkan pertanyaannya, mungkin ia sama sepertiku, agak pemalu, dan aku juga tidak melanjutkan perbincangan, terus terang saja aku agak kaku jika baru pertama kali bertemu.

Aku memperhatikan kakak-kakak OSIS di depan, mereka memerintah agar kami membuka buku tulis dan mencatat nama Wali Kelas kami di belakang sampul buku, agar tidak lupa kata mereka, aku serta teman sebangkuku hanya menurut saja, lalu para OSIS itu keluar saat mendapati seorang Ibu guru sudah berdiri di depan kelasku, yang kutebak ia pasti Wali Kelas kami.

Ibu guru itu melenggang masuk ke kelas dengan senyuman yang ia tebarkan, langkahnya mantap dengan suara higheelsnya yang menggema, sampai membuatku merinding.

"Assalamualaikum, anak- anak," sapa guru kami dengan nada ramah.

Seisi kelas menjawab salamnya, lalu Ibu guru yang parasnya aduhai itu mengenalkan namanya, "Nama Ibu Meliasari, S.Pd." ia menuliskan namanya besar-besar di papan tulis putih sampai papan itu bergetar seiring tulisan tangannya, wah beliau bersemangat sekali.

"Kalian bisa panggil saya, Ma'am Sari, karena saya sudah berkeluarga jadi enggak pantas dipanggil Mis," ujarnya, aku dapat menangkap jika ibu guru ini adalah guru bahasa inggris.

Ma'am Sari melanjutkan perkenalannya, usia, alamat rumah, riwayat pendidikan, nama suami, serta jumlah anak-anaknya, seisi kelas hanya mendengarkan saja, sesekali Ma'am Sari membuat guyonan agar kami tidak merasa canggung.

"Baiklah, Ibu sudah berkenalan, sekarang gantian kalian yang berkenalan, ibu kan sebagai Wali Kelas mau mengenal kalian lebih dekat, biar nanti kalau Ibu mau nitip makanan ke kantin bisa manggil nama kalian dari toa kantor," ujarnya, seisi kelas hanya tertawa saja menanggapinya, walau aku tahu tidak mungkin juga ia melakukan hal itu benar-benar.

Kami mulai berkenalan, maju satu per satu ke depan kelas, mulai dari bangku pojok kiri depan dan bergeser ke kanan, aku yang notaben berada di bangku depan, ketar ketir karena harus berkenalan menggunakan bahasa inggris, aduh aku tidak pandai, karena aku tipe manusia yang demam panggung jadi tanganku mulai basah, jantungku berpacu lebih keras, terlebih harus tampil dengan hal yang tidak aku kuasai, aku sangat gugup.

Empat orang anak telah berkenalan, itu artinya dua bangku telah terlewati, kini giliranku yang berada di bangku urutan ke tiga di depan, dan sialnya, aku berada di kiri, yang mengharuskanku maju lebih dulu daripada teman sebangkuku, aku sempat diam sejenak untuk menormalkan detak jantungku, tapi malah makin menggebu.

"Ayo, selanjutnya," kata Ma'am Sari menatapku.

Aku melangkahkan kaki ke depan lalu berbalik menatap teman-temanku, pandangan mereka mengarah padaku, aku jadi pusat perhatian, tanganku gemetar di belakang badanku, dengan satu tarikan nafas aku mulai perkenalanku.

"Hallo friends, my name is Ayna Azkyr, you can call me Ana, and Im thirtheen years old, im was born in bla, bla, bla," aku berkenalan agak kaku menggungkapkan nama, umur, tanggal lahir, hobi serta asal sekolahku bahkan ada teman-teman yang menanyai ukuran sepatu serta nomor handphoneku, tapi aku tidak menjawab mereka, hanya senyam-senyum kaku lalu kembali ke bangkuku, aku menghela nafas lega, akhirnya telah melewati masa-masa sulit pagi itu.

Satu persatu teman-temanku berkenalan, dan Ma'am Sari sepertinya sudah agak lelah, terkadang aku mendapati ia sedang bermain handphone dan tidak mendengarkan, aku pun begitu lebih memilih mencorat-coret kertas yang berada di bagian belakang bukuku daripada harus mendengarkan mereka berkenalan satu-satu, lagi pula aku akan hafal nama mereka dalam seiring waktu, hobi dan cita-cita mereka juga homogen, tidak jauh-jauh dari hobi membaca buku dan ingin menjadi dokter atau pemain sepak bola terkenal, ya sama sepertiku yang menyebutkan, "Im want to be an docter."

Aku bersorak ria dalam hati saat mengetahui tinggal satu teman yang akan berkenalan, anak itu maju, dan ternyata anak lelaki, aku tidak melihatnya karena ia yang kecil dan duduk di bangku pojok paling belakang, netraku memandangnya yang tengah berjalan ke depan, lalu ia berhenti di depan bangkuku, berdiri di samping meja guru.

Tampilannya agak aneh, ia memakai seragam Sekolah Dasar yang celananya sudah di atas lutut sedangkan kaus kakinya terjulur panjang sampai hampir ke lututnya, aku pikir dia akan menyebutkan ingin menjadi pemain sepak bola terkenal karena kaus kaki bola yang dipakainya, terlebih itu baju dan dasinya tersetrika dengan rapi. Dan wajahnya agak menarik perhatianku, karena seisi kelas hanya ia yang memancarkan aura berbeda, entah lah aku hanya merasa demikian.

Ia mulai mengenalkan dirinya, "Hello, my name is Arga Rayyan, you can call me Arga," ujarnya, dan aku menghafal namanya dalam hati, ia melanjutkan. "My hobby is drawing, and i want to be an architect," ucapnya dengan tegas walau agak kaku juga karena pelafalan inggris yang masih di awang-awang.

Netraku lekat memandangnya sepanjang ia berkenalan, tanganku yang sedari tadi sibuk menari di atas kertas, kini tersila dengan rapi di atas bangku, menatapnya, mendengarkannya, bahkan tak sadar tersenyum saat ia mengakhiri perkenalannya dengan senyuman, lalu ia kembali ke bangku.

Pikiranku masih terproses dengan pengenalannya yang menyebutkan hobi menggambar dan ingin menjadi arsitek, bagaimana ia bisa berpikir demikian?, ia menarik, ia berbeda, bukan dari hobi dan cita-citanya saja, tapi dengan penampilan dan auranya.

Aku seorang bocah yang notabennya selalu penasaran akan sesuatu dengan otomatis menganggap dirinya menarik, menarik untuk aku ajak berkenalan dan berteman dekat, ya aku insan yang kerap kali suka memanfaatkan sesuatu untuk kepentingan diriku, aku berpikir akan berteman dengan orang yang pintar dan yang nantinya akan bisa membantuku dalam hal pelajaran, saat itu aku pikir ia anak yang pintar, hobi dan cita-citanya berbeda, jadi bukankah ia menarik?.

Tapi hari ini aku sadar akan keputusanku hari itu untuk berteman dengannya, ternyata menjadi keputusan yang akan aku kenang selamanya.

Tapi hari ini aku sadar akan keputusanku hari itu untuk berteman dengannya, ternyata menjadi keputusan yang akan aku kenang selamanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***
Vote nya ya guys :)

Wijaya KusumaWhere stories live. Discover now