2. Mimpi itu Mahal

22 5 0
                                    

Happy Reading🌟

°°°

Gemuruh awan yang bersahutan dengan petir yang menggelegar memekakkan gendang telinga, tak meluruhkan niat wanita paruh baya untuk tetap berdiri di teras rumah, menunggu kepulangan suaminya. Dalam hati tak henti-hentinya berdoa semoga belahan jiwanya itu sudah meneduh di tempat yang aman. Bukan tetap di tempat terakhir kali mereka bersama.

“Masuk dulu, Ibu udah mau magrib! Bapak pasti di rumah Kakek,” ujar Aila membujuk Ibunya.

Bu Mila mendengarkan perkataan putri semata-wayangnya. Teringat dulu kala dirinya meneriaki Aila kecil yang tak mau pulang karena asyik bermain bersama temannya.

“Bapakmu tadi udah tak bilangi lo padahal kalau mendung wes cepet ndang balik,” gerutunya meski sudah duduk di kursi ruang tamu.

“Ibu sama Bapak juga kebiasaan gak mau bawa payung,” ucap Aila dengan sedikit bergurau.

“Hoala nduk, wong di sawah aja kok pakai payung!” Bu Mila mengelak.

“Kamu tadi gimana sekolahnya?” Beliau memilih mengalihkan pembicaraan agar tidak terus menerus memikirkan suaminya.

Aila selalu senang karena sejak kecil ibunya tidak pernah lupa untuk menanyakan pertanyaan sederhana itu. Bahkan, sering memaksanya bercerita kalau Aila hanya menjawab ‘Tidak ada apa-apa’. Sehingga lama kelamaan Aila terbiasa menceritakan hal sekecil apapun yang terjadi di sekolah.

“Tadi, temen-temen ngomongin soal kuliah, Bu.” Aila menoleh tapi raut wajah ibunya belum menunjukkan perubahan.

“Kemala sama Zio pingin masuk kesehatan, kalau Rania sama Laras belum tahu tapi mereka sepakat linjur, katanya udah males di IPA.”

Aila juga sering mengajarkan sedikit bahasa gaul kepada Ibunya saat mereka bercerita. Syukurlah ibunya sering mengingat istilah-istilah aneh itu sehingga paham dengan arah cerita Aila. Kalau tidak paham Bu Mila pasti bertanya balik apa maksudnya. 

Sebab Bu Mila berprinsip kalau orang tua harus mengerti zaman di mana anaknya tinggal, sehingga mereka bisa menjadi teman di saat yang diperlukan. Dia tidak mau mendidik seperti bagaimana ia dididik dulu, karena zaman dia dan anaknya sangat jauh berbeda. 

“Kamu sendiri mau masuk apa?” tanya Bu Mila.

Aila sedikit terkejut, “Aila kuliah, Bu?”

“Loh, kamu ini bicara apa! Kan kamu sendiri yang bilang dulu kalau ada kuliah yang gratis dibayari pemerintah itu.”

“Tapi itu seleksinya ketat, kalau Aila gak lolos gimana?” Entah mengapa jiwa pesismis Aila lebih sering keluar saat bersama ibunya. Apa karena ia merasa nyaman dan butuh dilindingi?

“Wong belum dicoba kok gupuh tapi!” Dan semua sikap berani yang Aila tampakkan di luar rumah itu ia dapatkan dari ibunya.

“Ibu kan selalu bilang ke kamu, jangan pernah takut mencoba, perkara hasil itu urusan Gusti Allah. Rejeki gak bakal kemana, Nduk!”

Aila selalu memainkan ujung jilbabnya ketika gugup. Namun, setidaknya riuh hujan di luar bisa menutupi debaran jantungnya. Selain masalah biaya, sebenarnya ada masalah lain yang menganggunya. Aila rasa ini momen yang tepat untuk menanyakannya.

“Bu, kalau Aila kuliah di luar Surabaya apa boleh?”

Ekspresi wajah Bu Mila yang semua teduh sedikit berubah cemas walaupun wanita itu bersusah payah menyembunyikannya.

“Kenapa, Nduk? Di sini kan ada kampus juga kok kamu jauh-jauh ke tempat lain. Di luar sana itu bahaya kamu masih kecil.”

Kecil? Apa usia delapan belas tahun itu masih dikategorikan anak-anak?

CALON MABAWhere stories live. Discover now