10. Sepuluh

56 12 36
                                    

Matahari yang kian meninggi tidak menjadikan ruang itu terang. Ruangan itu tidak memberikan celah untuk sinar sang surya menelisik ke dalamnya. Ruang itu tidak memiliki ventilasi yang baik.

Pun dengan lampu bohlam kecil yang sudah bertahun-tahun tak diganti yang jika dinyalakan hanya mampu memberikan sedikit cahayanya untuk menerangi ruangan yang berukuran luas itu.

Sarang laba-laba yang terpampang di antara benda-benda yang tidak beraturan memberikan insting kepada bulu kuduk untuk berdiri. Namun, tidak dengan gadis yang sedang berdiri di ujung sana.

Deruan napas terdengar lirih di antara bangku-bangku yang keropos di sudut ruangan tanpa penerangan. Gadis dengan kepala yang tertutup penutup hoddie serta masker kain hitam menatap nyalang ke lembar yang ada di atas meja kayu berwarna cokelat yang sudah lapuk di setiap incinya.

Dia mengerang. Meremas lembar itu menggunakan jemari lentiknya. Guratan otot-otot tercetak dengan jelas di permukaan kulit tangan si gadis.

Lembar yang berisi data-data milik seorang yang berada di dalam sebuah foto yang tertempel di ujung kiri kertas berubah kusut ketika gadis itu meremasnya dengan kuat.

Sesaat, gadis itu menghempaskan lembar kusut yang digenggamnya. Dia menyeringai. Tertawa tanpa mengeluarkan suara.

"Mari lihat apa yang akan terjadi!"

Gadis itu menarik penutup hoddie ke depan wajah. Membiarkan wajahnya tertutup sebagian olehnya. Tangannya ditenggelamkan ke dalam saku hoddie. Kemudian dia melenggang keluar ruangan.


.

"Ven."

Suara halus yang tiba-tiba di depan telinga membuat Avena terkesiap. Avena menoleh secara refleks ke belakang, di mana sesosok gadis berkaca mata bulat berdiri di sana. Dia Nafta.

"Jadi, gak, Ven?" Dia berjalan mensejajarkan tubuhnya sambil bertanya dengan sebelah alis dinaikkan.

Avena menghembuskan napas lega. "Jadi, Naf."

"Eh, kok lo pake kacamata, sih. Gak cocok kayak gini, tau. " Avena tiba-tiba memprotes penampilan Nafta. Padahal dengan memakai kacamata itu Nafta masih terlihat cantik. Lagian, kenapa juga Avena sibuk-sibuk memikirkan penampilan Nafta.

"Gak apa-apa. Lagian gue suka pakai kacamata ini." Nafta menjawab. Ia ikutan duduk di pangkal tangga, di samping Avena berada.

Dia melongok, ponsel Avena yang bergetar dan menyala. Namun, dengan cepat Avena langsung membalikkan ponsel miliknya itu.

Dia tidak ingin Nafta tahu soal haters yang belakangan ini sering mengganggu hidupnya. Karena Avena juga tahu kalau Nafta juga sedang memiliki sebuah masalah yang belum ia ketahui. Avena tahu dari semua gerak-gerik Nafta.

Mulai dari sikapnya, cara tidurnya, juga jam tidurnya yang mulai berubah akhir-akhir ini. Avena tidak ingin menambah beban pikiran Nafta lagi.

"Kenapa?" Nafta mengernyit.

"Gak ada apa-apa, Naf! Eh, jadi gak, nih?"

Avena menanyakan hal yang sama, seperti pertanyaan Nafta beberapa menit yang lalu.

"Jadi. Gue laper banget, nih."

Nafta mengelus perutnya yang sudah keroncongan dari pagi tadi. Sekarang perutnya juga mulai merasakan perih.

"Ah, terus kenapa lo duduk, Nafta."

Avena terkekeh. Berdiri dan mengulurkan tangan ke Nafta. Yang langsung diterima dengan baik olehnya. Namun,  Nafta masih belum berdiri juga.

"Gue  lagi capek. Jadi pengin duduk aja."

Clandestine (HIATUS)Where stories live. Discover now