3. tiga

116 29 159
                                    

Ponsel Delta akhirnya berhenti berdering. Dia melirik sekilas ponselnya. Tulisan 'ayah' tertera jelas di layar ponsel.

Beberapa saat setelah benda pipih itu diam kini kembali mengeluarkan suara yang membuat Delta tidak fokus belajar. Suara yang mengesalkan dan sangat menganggu. Dia tidak menyentuh sama sekali ponselnya.

"Berisik."

Cowok itu sama sekali tidak tertarik. Dia lantas mengabaikannya begitu saja. Dia sudah dapat menebak apa yang akan ayahnya tanyakan.

Bukan menanyakan kabar, atau menanyakan hari-harinya di sekolah. Namun, sudah dapat ia pastikan jika omongan ayahnya akan tidak jauh dari peringatan agar nilai-nilainya tidak turun dan beberapa kritikan mengenai sikapnya akhir-akhir ini.

Padahal bagi Delta, nilainya cukup bagus, tidak ada nilai delapan di rapor miliknya. Apakah itu jelek?

Bagi ayahnya itu buruk. Bukan nilai itu yang ayahnya harapkan. Ayahnya mengharapkan nilai yang sempurna. Tampaknya orang itu melupakan kalau hanya tuhanlah yang memiliki kesempurnaan.

Capaiannya saat ini nyatanya tidak membuat pria itu bahagia. Entahlah, sejak peristiwa itu ayahnya jadi sedikit berubah. Tidak, sebenarnya banyak berubah.

Rasanya jika ada mesin waktu seperti di kartun yang pernah dia tonton waktu kecil, Delta ingin kembali ke masa dulu dan menetap di sana. Atau jika ada pintu ke mana saja, Delta akan memilih pergi jauh, jauh dari keluarganya dan orang-orang yang sering membuatnya kesal.

Delta meninggalkan asrama dan menuju perpustakaan, di sana mungkin dia akan mendapatkan kesunyian.

Cowok itu berjalan menuruni tangga dan bergerak ke arah selatan. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku hoddie hitamnya untuk memberikan efek hangat pada telapak tangannya. Udara malam ini lebih dingin dari pada biasanya.

Delta masuk ke dalam perpustakaan dengan santai. Perpustakaan sudah sangat sepi. Hanya ada seorang penjaga perpustakaan yang sedang fokus membaca buku, sepertinya novel. Saking fokusnya penjaga itu sampai tidak menyadari Delta masuk.

Delta melewati rak-rak yang berisi banyak buku. Cowok itu mengambil buku hijau di rak nomor dua dari depan. Pandangannya menatap lurus ke arah pojok belakang.

Dia beranjak menuju rak pojok, tepatnya di sudut perpustakaan. Delta duduk di bangku paling belakang. Dia mulai membaca buku yang tadi dipinjam. Didetik berikutnya Delta mulai tenggelam dengan isi bacaannya.

Dengan kesunyian seperti ini, Delta akan lebih mudah menyerap isi buku yang dibaca. Makanya dari dulu dia suka kesunyian dan lebih suka menyendiri.

Dia sadar diri kalau dirinya masih cukup bodoh. Karena ketidak telitiannya saat olimpiade waktu itu, Delta selisih tiga nomor dengan tim lawan. Itu membuatnya mendapatkan kekalahan dan tidak ada medali yang bisa ia bawa pulang.

Rasa menyesalnya berlarut-larut sampai sekarang. Pasalnya itu adalah pencapaian terburuknya. Sedangkan orang tuanya sama sekali tidak memberinya semangat justru memarahi dan memberinya ancaman-ancaman yang membuatnya semakin menyesal.

Tidak hanya orang tuanya, sahabat dan saudaranya juga melakukan hal yang sama. Sama sekali tidak memberikan motivasi agar Delta bangkit untuk mempersiapkan diri ke olimpiade selanjutnya.

Satu bulan lagi akan ada olimpiade yang akan menjadi olimpiade terakhir baginya, karena saat ini dia sudah berada di kelas XI semester akhir.  Sebentar lagi dia akan menjadi siswa kelas XII.

Mawija pasti akan mempersiapkan siswanya untuk mengikuti UN, SNMPTN, atau pun SBMPTN sedini mungkin. Seperti tahun-tahun sebelumnya di semester kedua kelas XI mereka sudah mulai mendapatkan les tambahan mata pelajaran.

Dengan adanya semua tambahan pelajaran itu membuatnya tidak bisa mengikuti olimpiade lagi. Delta bertekat untuk memperbaiki skornya saat olimpiade nanti serta berharap medali emas yang akan dikalungkan padanya.

"Masih terlalu ambisius buat olimpiade nanti?"

Pertanyaan itu membuat Delta mendongak. Matanya bertemu dengan netra gadis cantik di samping tubuhnya. Lalu Delta membaca bukunya kembali tidak menghiraukan keberadaan gadis tadi.

"Bukan urusan lo," jawab Delta cuek.

Gadis yang selalu dapat peringkat kedua satu angka di bawah peringkat Delta, anak estrakurikuler drama, bisa nebak siapa dia?

Ya, gadis itu. Dia duduk di bangku seberang Delta. Dia menatap Delta dengan tatapan meremehkan, rasanya Delta ingin menyingkirkan gadis itu sekarang juga.

"Gue pikir, lo udah ngelupain soal olimpiade nanti. Ternyata lo masih sama."

Gadis itu tersenyum sinis. "Padahal gue tau, lo gak bakal dapet juara satu."

Oke.

Delta masih diam. Mencoba tidak menghiraukan omongan gadis tadi.

"Makin ke sini makin keliatan kalau lo sebenarnya gak pantes masuk olimpiade."

Delta menatap gadis itu tidak terima. "Maksud lo?"

Cewek itu terkekeh, tangannya menutup buku yang dibaca Delta. "Gak usah terlalu ambis kalau kenyataannya lo udah tau apa yang bakal lo dapetin di olimpiade nanti." Dia berdiri. "Karena pada akhirnya lo gak bakal pernah bisa menang."

Lagi.

Delta mengepalkan tangannya. Ia mencoba menahan amarah. Gadis itu benar-benar membuatnya geram. Sudah berapa kali dia mengatakan hal itu kepadanya. Padahal ini ada hubungannya dengan gadis itu sama sekali.

"Gak usah bikin masalah," ucap Delta suaranya agak dikeraskan, namun tidak terlalu keras dia tidak mau membuat keributan di malam-malam begini.

"Semakin lo marah makin keliatan kalau lo itu emang gak pantes dan lo emang gak sanggup bawa medali emas buat sekolah."

Napas Delta memburu, ternyata masih sama. Gadis itu masih saja seperti dulu. Masih suka mengibarkan bendera permusuhan dengannya. Delta berdiri lalu dia berjalan, saat di langkah ketiga, cowok itu berbalik. "Jangan lupa ngaca, kata-kata itu lebih cocok buat lo."

Delta menarik senyum simpul. "Lo cuman gadis pengecut yang gak bisa liat orang lain sukses."

Gadis itu menggebrak meja. Menimbulkan bunyi yang cukup keras, sampai-sampai penjaga perpustakaan terlonjat kaget dan refleks mengucapkan 'astaghfirullah' sambil mengelus dadanya. Sebelum wanita itu berjalan mendekati kedua siswa itu.

"Omongan lo gak berdasar." Gadis itu tidak terima dirinya dikatai pengecut.

"Gak berdasar atau emang fakta?"

"Huh!"

Penjaga perpustakaan menghampiri keduanya, mencoba meleraikan perdebatan mereka. "Apa-apaan kalian? Sudah sana balik ke asrama," usirnya.

Delta melirik jam tangan hitam yang menempel di tangan kirinya. Jam itu menunjukkan pukul 21.50. Akhirnya Delta memutuskan untuk ke asrama meninggalkan gadis tadi.

Pasti ponselnya juga sudah tidak berdering. Tidak mungkin juga kan kalau ayahnya masih saja menelpon ketika sudah diabaikannya selama hampir sejam?

Clandestine (HIATUS)Where stories live. Discover now