8. delapan

68 18 87
                                    

Dara meminum tegukan terakhir coklat panasnya. Pikirannya masih terpaku pada cowok tadi---Arion. Jika dilihat dari dekat cowok itu terlihat lebih tampan.

Dara jadi melamun, tetapi matanya menatap sekeliling.

Tiba-tiba tanpa diduga-duga suara teriakan menerobos telinganya tanpa permisi.

"Dara!!"

Dara sudah tahu. Itu pasti suara Kila, sangat jelas dari karekteristik suaranya. Suara yang sangat khas dan suara yang lain daripada yang lain.

Dara memutar kepala. Kila dan Vinda sudah duduk di sampingnya dengan handuk kecil yang bertengger di leher. Serta keringat yabg sudah mengalir di antara kepala dan sekujur tubuh mereka.

Dara menutup hidungnya saat Kila menggeser tubuh dan mendekatkan badannya dengan Dara.

"Bau banget, Kil. Mandi sana!" ucap Dara dengan suara yang agak berbeda karena hidungnya di tekan.

Kila mendengkus. Mengelap peluhnya di dahi. "Idih, gak sadar diri. Lo juga belum mandi kan, Ra."

"Dara! Lo belum mandi?" tanya Vinda.

"Belom, haha. Gue tadi bangun tidur langsung beli cokelat hangat, soalnya dingin banget gak kuat mandi." Dara menjawab dengan sangat jujur, tanpa menyenyelipkan satu kebohonganpun.

"Gak pa-pa. Gue juga belom mandi kok, Ra." Vinda terkekeh sambil memainkan handuk yang sudah basah karena keringat miliknya.

"Ya udah, yok mandi. Abis itu kalian mau ke bioskop gak?" tanya Kila. Gadis itu sudah berdiri menghadap kedua sahabatnya.

"Mau banget!" teriak Vinda sambil menegakkan tubuhnya.

Dara ikut-ikutan berdiri. "Mau dong ... eh gue gak bisa."

Serentak. Vinda dan Kila mengernyit. Menampakkan tanda tanya di atas kepala mereka. "Kenapa, Ra?" Kila bertanya.

"Gue ada janji." Dara menjawabnya dengan sedikit ragu.

Ah! Vinda mengingatnya. Janji dengan Delta. "Sama Delta? Buat beli buku?" Vinda memastikan.

"Ah, Dara jangan deh. Mending pergi sama kita. Beli bukunya diundur aja, Ra!" Kila memberi saran yang menyesatkan.

Dara menimang-nimang. Dara sudah janji kepada Delta. Namun, dirinya juga agak malas mengingat katanya Delta bahaya.

Masalahnya dia sudah mengiyakan. Nanti kalau dia tidak pergi Delta membunuhnya bagaimana? Tetapi kalau pergi nyawanya bakal terancam juga bagaimana?

"Tapi ...."

"Biarin aja, Kil. Dia kan udah janji. Kalo Dara gak nepatin kan dosa, dan berhubung ini saran lo ya dosanya buat lo, Kil." Vinda tertawa setelahnya.

Kila melotot. Namun, ada benarnya juga kata Vinda. Ralat. Bukan ada benarnya tetapi memang benar.

"Ya udah, Ra. Kita nonton bioskop bareng lain waktu aja, deh," kata Kila pada akhirnya.

Akhirnya mereka bertiga berangkat untuk pulang ke asrama. Mereka berjalan berdampingan. Melewati koridor-koridor ruangan yang sepi. Dara tidak tahu pasti itu ruangan apa.

Mereka mulai menaiki tangga dan hendak berbelok. Mata Dara tidak sengaja menangkap sosok yang ada di jendela kamar asrama nomor 01. Dara mengernyit, setahu Dara kamar itu kosong.

Setelah di asrama Dara bertanya. "Eh, kamar 01 itu udah ada siswa yang nempatin ya?"

Vinda dan Kila mengernyit.

"Kamar yang mana?" tanya Vinda bingung.

"Kamar yang dekat tangga itu, yang samping kamar 02 lah." Dara menjawab dengan sedikit geregetan.

"Itu bukan kamar, Ra. Kamar kosong, sih. Uah jadi gudang soalnya," jawab Kila saat ia akan membuka pintu kamar mandi.

"Emang kenapa?" tanyanya lagi.

"Eh, masa? Gue tadi liat kaya ada orang di dalem ...."

Dara belum selesai bicara dan tiba tiba ada suara benda jatuh dari dalam kamar mandi.

.

Nafta keluar dari ruang drama, gadis itu menutup pintu dengan rapat. Tawaran untuk menjadi pemeran utama dalam pentas akhir tahun tadi masih saja terpikirkan di dalam otaknya.

Jika ditanya ingin atau tidak, tanpa berpikir lagi Nafta tentu akan menjawabnya ingin. Namun, hal itu tentu akan membuatnya semakin susah untuk mengimbangi waktu antara belajar dengan latihan pentas, apalagi ujian akan segera diadakan.

Nafta tidak ingin nilainya turun. Di sisi lain menjadi pemeran utama dalam pentas adalah keinginannya sejak dahulu. Ini adalah kesempatan pertama dan mungkin juga terakhir baginya untuk mengambil peran utama. Gadis itu benar-benar bingung. Ini sungguh pilihan yang sulit.

Nafta memilih untuk pergi ke rooftop, untuk menenangkan pikirannya. Di sana dia dapat menghirup udara segar. Itu membuatnya sedikit lebih segar dan mungkin dapat menghilangkan sedikit stres di kepalanya.

Sesampainya di sana gadis itu memandangi sekeliling. Sepi. Pantas saja, ini akhir pekan.

Mungkin siswa lain sedang bersenang-senang pada waktu ini. Mereka tidak memiliki beban sebesar milik Nafta, mungkin. Itulah yang Nafta pikirkan kali ini.

"Nafta!"

"Beneran, kan. Gue tebak lo ada di sini." Seorang gadis muncul di belakang Nafta. Dia tampak terengah karena berlarian untuk naik ke lantai atas.

Nafta berbalik. Tersenyum ke arah Avena. Avena pun bergerak mendekati Nafta yang sedang berdiri dengan bersandar tembok.

"Naf! Mau sarapan bareng, gak?" Avena bertanya dengan senyuman manis di wajah.

"Boleh, yuk." Nafta menggandeng tangan Avena untuk pergi ke kantin bersama.

Mereka berjalan berdampingan. Namun, tiba-tiba ponsel Nafta bergetar. Gadis itu menghentikan langkah.

"Lo duluan, gue angkat telepon." Nafta melepas gandengan tangannya dan bergerak menuju rooftop kembali.

.

"Jangan ikut hal-hal gak berguna kayak gitu."

Jeda

"Jangan kecewakan saya kali ini."

Sedetik kemudian, sambungan telepon tertutup. Nafta menggenggam ponselnya erat. Jantungnya berdegup kencang, kedua matanya dipejamkan. Gadis itu meringsut ke lantai dan bersandar pada dinding. 

Lelah. Satu kata yang dapat dikatakan Nafta untuk saat ini. Sekuat tenaga ia gunakan untuk belajar. Namun, hasilnya selalu tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Dan apakah kali ini Nafta akan merelakan kesempatannya untuk menjadi pemeran utama?

Nafta sudah lelah dengan semua ini.

Clandestine (HIATUS)Where stories live. Discover now