Since[Pt. 2]

227 17 0
                                    

*Katsuki POV.*

Kata orang, musim semi itu musim dimana cinta mulai menabur benihnya. Musim dimana banyak orang mengalami yang namanya jatuh cinta pandangan pertama di masa sekolah. Mitos yang banyak orang bilang pernah merasakannya. Cinta monyet kekanakan yang akan selalu terekam dalam ingatanmu sampai keriput.

Fuck off.

Semuanya omong kosong buatku.

Yang ada malah si brokoli hijau sialan yang selalu menghalangi jalan ditempatkan satu kelas denganku, dan hampir semua orang yang kali ini menjadi ‘teman’ sekelasku, harus kuakui—yang walaupun aku setengah mati tidak mau mengakuinya—lebih kuat dariku.

Masa SMA yang indah apanya?

“HOI BAKUBRO!” Tone suara yang familiar di telinga memenuhi lingkup pendengaranku. Kelas yang sudah gaduh di pagi hari terasa makin ribut.

“Tch.” Aku memutar bola mata, ini lagi. "Mau apa kau?"

Eijirou Kirishima, orang itu, tersenyum lebar-lebar, setengah berlari mendekatiku. "Nggak, aku cuma nyapa, bagaimana kabarmu hari ini?"

"Bukan urusanmu." Aku melengos, buang muka.

"Eeeehhh…," Kirishima mengerutkan dahinya. "Jangan begitu, kita kan masih belum kenal dekat, ayo saling mengakrabkan diri. Temenan, oke?" Cengirnya. Tangannya merangkul pundakku. 

Aku semakin kesal, segera kutepis tangannya. "Minggir, sialan. Aku kesini bukan untuk berteman. Jangan sok dekat dan merangkul siapapun di sekitarmu."

"Eeehhh?? Bakubro, tapi kita ini teman, kan?"

"BUKAN, OI! Dan jangan sembarangan mengubah namaku seenak jidatmu!" Kusikut perutnya, berusaha membuatnya pergi. Tapi anehnya dia malah tertawa.

"Ahaha, iya iya." Kirishima menjauh, bergabung dengan lingkaran berisik lainnya. Ikut mengobrol. Sayup kudengar dia membicarakanku sesaat, "Omong-omong Midoriya, dari dulu Bakugou memang seperti itu, ya?"

"Ah, soal itu, Kacchan memang—"

Aku mendengus, memasang earphone ke telinga, membuat suara ribut itu tertutupi alunan melodi lembut piano klasik yang kuputar. Lagu klasik dapat meningkatkan daya ingat.

Hari ini pasti akan melelahkan.

***

“Bakugou, mau pulang bareng?” Kirishima menepuk pundakku.

Sudah lewat dua bulan sejak hari pertama, aku mulai membiasakan diri dengan segala keriuhan di kelas. Lorong sekolah sepi, sebagian besar murid UA sudah pulang sedari tadi, menyisakan beberapa murid yang masih terjebak dalam kegiatan klub dan tugas piket. Kenapa dia masih di sini? Si bodoh ini tidak mungkin menungguku sampai sore.

Sebagai jawabannya, dia tersenyum dan menjawab, “Aku kena hukum Aizawa-sensei, disuruh menyalin jawaban lima lembar.”

Seperti yang sudah kuduga dari orang sebodoh ini.

“Tch,” Aku melengos, melangkah cepat menuju lift. Kirishima tergesa mengejar, berusaha menyejajari langkah.

“Hei, jadi gimana? Jadi pulang bareng?”

“Rumah kita nggak searah, tahu. Dasar bodoh.”

“Eh, iya juga.” Kirishima menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya terlihat sedikit kecewa. “Tapi kau mau ke stasiun, kan, Bakugou? Aku ikut, ya.”

“Terserah.” Aku menjawab cuek, memasang earphone ke telinga, menaikkan volume suara.

Senyum Kirishima terkembang lebar, seperti anak kecil yang senang diberi permen. Pintu lift terbuka, beberapa orang dengan seragam petugas kebersihan keluar dari sana. Aku bergerak masuk, Kirishima mengikuti. Hening sesaat. Lift masih bergerak.

“...kugou.”

Aku menoleh. Apa tadi Kirishima baru saja memanggilku? Aku melepas earphone,  menatapnya lamat-lamat. Dia seperti sedang mengamati motif lantai. “Oi, jabrik.”

“Eh, aku?” Kirishima menoleh kaget. Ekspresinya seperti dia sedang tidak mengekspektasikan aku akan memanggilnya.

“Tadi kamu manggil aku, nggak?’

“Eh, uh, engga—iya…,” Dia gelagapan, seolah baru saja melakukan sesuatu yang tidak seharusnya aku tahu. Aku menatapnya lurus-lurus. Kirishima menghindari mataku. “Uh, ada apa?”

“Itu seharusnya kalimatku, sialan.” Aku berdecak kesal, menyilangkan tangan. “Kenapa?”

“Ng…, nggak, nggak jadi.”

“APA?”

“Uh…, aku penasaran kamu dengar apa.”

“Huh?”

“Aku jarang melihatmu mendengarkan musik tanpa earphone, jadi aku penasaran lagu apa yang kau dengar.”

Meh. Terdengar seperti cari alasan bagiku.

“Kenapa?” Aku menjulurkan sebelah earphone padanya, “Mau dengar?”

“Hah?” Kirishima terlihat agak panik sekaligus bingung. Kepalanya antara mengangguk dan menggeleng, terlihat konyol. Sekilas mengingatkanku pada gerakan kikuk Deku. Aku tertawa kecil.

“Gimana?”

“Ah.., aku…,” Wajah Kirishima terlihat sedikit merona. Apa lagi yang dia tunggu?

Ting!

Pintu lift terbuka. Aku langsung bergerak keluar, meninggalkan Kirishima yang masih berdiri kaku di tempatnya. Kutolehkan kepala, bertanya, “Oi, Kirishima, cepat kalau tidak mau kutinggal.”

“Ah, iya!” Kirishima seperti tersadar, berlari menyusulku yang sudah menjauh. Telinganya masih merah.

Aku tersenyum tipis.

Yah, tidak buruk juga.

***

YOOO!!
COMEBACK LAGI WITH AUTHOR
EAAAAA
030

Nah makasih atas dukungan kalian, dan jangan lupa VOTE, LIKE and COMMENT, oke?

#KIRIBAKU ANTHOLOGY:3Where stories live. Discover now