10. Satu Hari Dua Pertemuan

3 2 0
                                    

Aku berjalan kelantai bawah, dan telah siap dengan seragamku. Aku menggendong tas yang lumayan agak berat.

Seperti biasa aku duduk di meja makan, memperhatikan Mama yang sedang membuat nasi goreng— seperti biasa.

"Pagi Mamaku yang paling cantik!" Sapaku dengan riang.

"Pagi juga sayangnya Mama," balas Mama menengok kerahku dan tak lupa dengan senyumannya.

"Pagi Riri," sapa seseorang di belakangku. Aku terlonjak kaget karena itu adalah suara Ari. Aku menengok kebelakang, dan benar saja itu Ari. Ia datang ke rumah sepagi ini? Dia sudah siap dengan seragamnya.

"Tumben datengnya pagi banget ke sini." Aku menarik tangan Ari untuk duduk di sampingku.

"Kan udah janji buat berangkat sama Riri, sam Sindi juga."

"Oh, jadi setelah ini kita ke rumah Sindi?" tanyaku mengangkat alis.

Ari mengangguk. "Iya, Riri, aku kan pacarnya Sindi, harus berang-bareng sama dia terus dong."

"Nyatanya Ari lebih sering sama Riri, tuh!" Mama datang dengan Dua piring di tangannya.

"Ini buat Ari, ini buat Riri." Mama meletakan dua piring itu di hadapanku dan Ari.

"Mama gak sarapan?" tanya Ari.

"Mama harus kebutik sekarang, Mama akan sarapan diluar." Mama mengambil tasnya yang berada di atas meja, dan menentengnya. "Mama berangkat dulu ya."

Aku berdiri diikuti oleh Ari, aku mencium punggung tangan Mama, Ari pun ikut melakukannya.

"Jangan berantem mulu ya!" Mama melangkahkan kakinya menjauh.

"Siap Ma, palingan saling cubit aja!" teriak Ari sebelum Mama benar-benar ilang dari pandanganku.

"Ihk!" Aku mencubit tangan Ari.

"Tuh kan udah nyubit." Ari terkekeh dan duduk kembali. Aku dan Ari sarapan bersama.

Sekelah selesai sarapan, aku dan Ari keluar dari rumah, tak lupa aku mengunci rumah terlebih dahulu.

"Yuk, Ri." Ari menarik tanganku lembut, aku hanya mengikuti.

Aku duduk di bangku samping pengemudi, sedangkan Ari duduk di kursi pengemudi. Ari mulai melajukan mobilnya menuju arah jalan yang sebelumnya belum pernah aku lewati. Tentu ini jalan menuju rumah Sindi.

Kulihat dari kejauhan ada seorang gadis berseragam, itu pasti Sindi. Benar saja, Ari menghentikan mobilnya tepat di hadapan gadis berseragam itu.

"Tunggu sebentar, Ri." Ari keluar daru mobil dan kulihat Ari menghampiri Sindi dan mengobrol dengannya sebentar sebelum kemudian membuka pintu mobil penumpang di sebelah pengemudi.

"Sindi duduk di sini, ya. Riri bisa duduk di belakang," ucap Ari.

Aku memandang Sindi tanpa ekspresi, Sindi tampak melemparkan senyuman padaku, dengan terpaksa aku membalas senyumannya, hati kecilku ingin sekali untuk ribut dengan Sindi.

Aku keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku membuka pintu belakang mobil Ari, dan masuk kedalam. Ari ikut masuk setelah memastikan Sindi masuk mobilnya.

Aku memutar mata malas. Tanganku mengambil ponsel didalam saku seragam.

"Gimana tidurnya, Sayang? Nyenyak?" tanya Ari pada Sindi, aku mendongakan kepala memandang Ari yang kini tangannya sedang mengelus kepala Sindi.

Ya, Sindi cantik, baik, ramah, murah senyum, tapi aku kurang menyukainya. Dibalik keramahannya seperti tersimpan aura lain yang belum muncul, senyumnya terlihat tulus, tapi entah kenapa mataku menjadi sangat perih ketika melihatnya. Suaranya yang lembut pun tidak cocok dengan telingaku.

Him or Him? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang