Leo yang mendengar itu rahangnya mengeras lalu menghampiri Langit.

"Turun lo!" suruh Leo.

Langit diam enggan menjawab.

"Turun gue bilang!"

"Minggir lo," sentak Langit mendorong tubuh Leo.

"DI SINI BUKAN TEMPAT LO ANJING!"

Langit tak acuh lalu menutup help full-facenya. Dalam hitungan beberapa detik motor Langit melaju dengan kencang tanpa memedulikan teriakan Leo dari belakang.

Di sini Langit benar-benar meluapkan semua emosinya, terlebih lagi dia ada di urutan depan yang memungkinkan Langit untuk menang. Namun, entah bagaimana pikirannya tiba-tiba menjadi kosong saat mengingat semua permasalahannya, Langit menabrak badan truk hingga membuatnya terpental hingga beberapa meter dari motornya.

Dalam kesadaran terakhirnya Langit melihat wajah Arin di bawah gelapnya malam dan sepinya jalanan. Semuanya telah selesai. Kali ini Langit akan mengalah. Langit tidak akan pindah ke luar negeri bersama mamanya juga tidak akan tinggal bersama papanya yang akan menikah lagi. Langit juga tidak akan menahan Arin lagi untuk bersamanya.

Langit memilih jalannya sendiri; pergi dan nggak akan pernah ditemukan lagi keberadaannya.

📖📖📖

"Ka, tubuhnya kaku," ucap Arin terisak.

Saka merapatkan tubuhnya di dekat Arin lalu memeluknya dari samping. Tak perlu banyak kata-kata untuk menghiburnya, karena dia Arin. Arin yang akan tenang hanya karena Saka di sampingnya dan menjelaskan padanya bahwa Arin tak pernah sendiri meski kini orang yang dicintainya meninggalkan Arin untuk selamanya.

"Ini beneran jadi hari terakhir gue untuk melihat Kak Langit?"

Sungguh tidak mudah menerima kenyataan ini. Tolong siapapun beritahu Arin bahwa semua ini hanya mimpi. Jika tanpa sadar Arin telah menyakiti Langit hukum saja dia. Apapun akan Arin terima, asal jangan kehilangan dia. Kehilangan orang yang begitu Arin harapkan kehadiran Langit di sampingnya.

"Gue nggak bisa Ka, gue harus gimana?" Air matanya terus berjatuhan seolah tak pernah habis.

"Bawa Langit kembali, Ka. Lo kan selalu mau lakuin apapun biar gue nggak nangis lagi. Biar gue nggak sedih lagi," isaknya tak karuan.

Arin mungkin akan kehilangan kewarasannya jika saja Saka tidak segera menarik Arin mundur dan membawa Arin ke tempat yang lebih sepi dari keramaian.

"Rin, ikhlasin ya?"

Arin menggeleng bersama jatuhnya air mata. "Nggak," ucap menarik napas dengan susah payah. "Nggak bisa...."

Untuk kesekian kalinya Saka memeluk Arin dan menenangkannya.

"Pelan-pelan aja ya Rin, lo pasti bisa."

"Gimana gue bisa? Gimana gue bisa terima? Gimana gue bisa rela, Ka. Gue nggak bisa, gue nggak akan pernah bisa!"

Namun, hidup harus tetap berjalan. Luka pasti ada. Harapan jangan lagi dipaksa nyata. Dan kehilangan bukanlah akhir dari segalanya.

Pada siklusnya, manusia akan dihadapi berbagai perasaan seiring berjalannya waktu. Tak apa, tak ada yang abadi di dunia ini. Sesekali kita hanya perlu mengalah pada waktu. Waktu dimana kita merasa bahagia, kecewa, luka dan sebagainya.

Bertahan saja sebentar.
Semua pasti terlewati.

📖📖📖

Hari ini Arin akan memulai dengan terbiasa. Arin putuskan melanjutkan langkah yang tersisa. Sudah cukup ia berselimut pada nestapa yang tak pernah menghangatkannya. Sedihnya biarlah menjadi sudah. Biarkan tawa dan bahagia terbit lagi dalam jiwanya.

"Udah empat tahun Rin, rambut lo nggak pernah panjang lagi."

Arin menoleh ke arah Saka sebentar tanpa berkomentar sama sekali. Suaranya seringkali ia telan. Diamnya menjadi hal biasa untuk sekarang. Arin... berubah.

"Jangan seperti Langit, Rin. Dingin yang pernah hangat."

Arin tersenyum samar. Nama itu disebut lagi, dan telinganya tak pernah asing saat mendengar. Begitu juga dengan kenangannya yang tak pernah hilang dari ingatan. Langit telah pergi-membawa harapan juga kebahagian yang selama ini Arin inginkan. Tanpanya, hidupnya tak pernah berarti apa-apa.

"Rin," panggil Saka penuh perhatian. Seolah lelah tak pernah ada saat menghadapinya.

"Gue tau. Lo cuma punya satu perasaan yang mungkin telah habis dibawa dia. Tapi gue yakin, lo masih punya perasaan buat orang selalu ada buat lo. Orang yang lo butuhin sampai saat ini."

Saka perlahan membawa tangan Arin dalam genggamannya. Arin tidak mengelak. Hanya saja tatapan matanya sudah menjelaskan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Kalau kamu adalah beku yang kehilangan matahari. Biarkan aku jadi angin yang akan mencairkan mu. Meski butuh waktu lama, aku akan menunggu dengan setia."

Arin tersenyum mendengarnya. Tentu itu adalah senyum yang paling Saka rindukan bertahun lamanya. Senyum yang ingin Saka lihat lebih lama di hari-hari selanjutnya.

"Nggak usah dipaksa, Ka," komentar Arin membuat Saka tertawa.

"Boleh?"

"Berusaha aja."

Saka mengangguk dengan pasti.

"Setiap hari gue udah berusaha, Rin."

Arin mengangguk. Ia tahu.

Sekarang Arin hanya perlu belajar menerima. Meski berkali-kali ia coba, kali ini Arin juga akan berusaha untuk rela. Bahwa dia perlu bahagia di atas rasa bersalah yang mungkin tak pernah ia lupa.

"Langit, jika kamu pergi bersama rasa sakit. Maka aku tetap di sini dihukum penyesalan hidup yang begitu pahit. Semesta masih baik, tapi rasa bersalah tetap mengurungku pada penderitaan yang begitu pelik."

****

Selamat kepada pemenang hati. Rumahmu akan selalu terbuka meski kamu tak berniat untuk kembali. Setidaknya aku memahami, bahwa ternyata kepergian mu menyimpan sebuah pesan. Bagaimana hati ini tetap bertahan, meski berkali-kali kamu patahkan.

-dari Arin, orang yang selalu mencintai Langit.

📖📖📖📖

Terimakasih sudah membaca sampai bagian ini.

Sebagai orang penikmat halu, aku terlalu jauh berangan sampai lupa bahwa aku ini sedang hidup di dunia realita. Bukan hidup di sebuah cerita fiksi yang tak nyata.

Sengaja aku buat Langit mati seperti perasaan sepihak ini.

Lov😘

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt