Kisah Julian : Keluarga Handoko [Part 27]

2.5K 99 0
                                    

"Julian, Rama, sini sebentar Sayang. Lihat nih, Tante bawain oleh-oleh apa untuk kalian."

Setelah aku masuk ke dalam rumah diikuti dengan yang lainnya, aku berniat langsung pergi menaiki tangga, dan tujuanku langsung memasuki kamar. Namun, belum sempat aku menginjak anak tangga, suara Tante Uti terdengar dari arah samping yang di mana ruangan santai keluarga ini berada.

Refleks aku menoleh lalu aku pun tersenyum seraya mengangguk. Aku pun dengan penuh syukur segera pergi bersama Rama ke tempat Tante Uti, sedangkan Oliver dan Angga duluan pergi naik ke kamarku seperti yang aku perintahkan.

Bisa melihat Tante Uti lagi di rumah ini sungguh membuatku sedikit merasa lega dan juga nyaman. Setelah semua yang terjadi, sekarang hanya tersisa Tante Uti yang satu-satunya aku percaya. Setidaknya, jika semua kejadian ini terbongkar, Tante Uti tidak mungkin berbuat tidak adil dan tetap memihak sang suami ataupun anaknya yang sudah berbuat tidak semestinya di belakang dirinya.

Sekarang karena sudah sampai sejauh ini, aku bertekad hari ini juga aku akan memberitahukan kepada Tante Uti tentang semuanya.

"Tante kapan pulangnya?" tanyaku sembari salim dengan Tante Uti. Begitupun dengan Rama.

Setelah itu, aku dan adikku itu duduk di sofa yang berhadapan dengan Tante Uti.

"Belum lama sih, paling sejam yang lalu?"

"Gimana Tan, kabar dari Tante Paris? Apa lahirannya lancar?"

"Lancar kok dan anaknya lahir dengan selamat dan sehat."

"Syukurlah," kata Rama.

"Cewek atau cowok?" tanyaku.

"Nah itu, ternyata yang berojol cowok lagi, Yan. Padahal Tante Paris pinginnya cewek karena kan udah ada yang cowok ya kan, si Kelvin."

"Wah iya, mukanya mirip Om Luis lagi dong?"

"Ya gitu deh. Eh iya, Yan. Ngomong-ngomong selama Tante ga ada di rumah kemarin, ada berita apa aja nih tentang ommu sama Erik? Terutama anak itu apa dia buat masalah lagi?"

Mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Tante Uti seketika membuatku sedikit ragu. Pasalnya, saat ini suasana hati Tante Uti terlihat sangat senang. Namun, aku menghela napas sesaat dan menguatkan diriku untuk memberanikan diri.

"Sebenarnya Tan, ada sesutu hal yang terjadi kemarin. Gimana ya cara aku ceritainnya ke Tante Uti. Apa bisa kita bicarakan ini berdua nanti setelah makan malam? Aku merasa saat ini waktunya kurang tepat untuk bercerita."

"Mm... bisa sih, tapi ini pasti ulahnya si Erik lagi ya? Ah, kamu ini bikin Tante penasaran aja tau ga, Yan." Tante Uti menatapku dengan wajah penuh kegelisahan.

"Tenang, Tan. Kali ini keadaan semuanya baik-baik aja." Aku pun melempar senyuman ke arah Tante Uti lalu bangkit dari kursi. "Kalau begitu aku sama Rama naik dulu ya Tan, kita mau mandi sama ganti baju dulu, udah bau apek soalnya.

"Oke, ini oleh-olehnya sekalian bawa ke kamar kalian ya."

"Oh, iya sama mau izin Tan, tadi aku bawa Oliver sama Angga main ke kamar, ga papa kan?"

"Ya boleh demong, Sayang. Nanti kalau misal makan malam suruh ikut aja. Eits, tapi nanti suruh mandi dulu ya, soalnya nanti kayanya kakekmu bakal ikutan makan malam hari ini."

"Oke, siap!" Aku berbalik seraya mengirimkan hormat sebagai candaan kepada Tante Uti.

Akhirnya, aku dan Rama lanjut naik ke lantai dua lalu berjalan menuju kamar kita masing-masing. Setibanya di depan kamarku, aku pun sesaat teringat dengan keberadaan dua cecunguk yang saat ini berada di dalam kamarku itu. Tiba-tiba saja pikiran negatifku mulai bermunculan dengan semua kemungkinan yang saat ini kedua anak itu rencanakan di dalam sana. Jika ini sebuah jebakan balas dendam yang telah mereka persiapkan, bisa-bisa setelah aku membuka pintu ini, pemandangan yang sudah menantiku adalah erotisme di antara keduanya.

Jantungku benar-benar berdegup kencang diserta napasku yang tak beraturan. Dengan ragu-ragu tanganku menarik gagang pintu itu ke bawah dan segera aku mendapati pemandangan yang membuatku sangat frustasi.

Bagaimana tidak? Aku sudah berusaha keras menyiapkan hati kalau-kalau keduanya melakukan hal gila seperti melakukan pertarungan pedang di atas ranjang, tapi yang kusaksikan sekarang keduanya malah tengah asik bermain PS, persis seperti apa yang keduanya sudah rencanakan di awal yakni bermain PS di kamarku.

"Shit! Gila ya, kalian masih sempet-sempetnya mainan PS di kamar gua?"

Setelah semua yang terjadi, apa keduanya tidak ingin mengatakan sesuatu padaku lebih dulu? Bagaimana bisa mereka bersikap seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi di antara hubungan persahabatan kita?

"Eh, nih bocah baru balik malah marah-marah. Esmosian banget nih si Bang jago. Sini duduk dulu istirahat," kata Oliver.

"Tunggu dulu dong, udah mau menang nih, nanti kita bakal jelasin semuanya oke?" kata Angga yang juga masih fokus memandang layar tv.

"Berrnti sekarang atau mau gua bogem nih?"

"Ampun, Bang Jago! Plis, sedikit lagi nih mau keluar! Eh, menang maksudnya."

"Argh... bang, bang, bangsat iya! Terserah lu pada dah."

Aku yang terlanjur malas meladeni tingkah keduanya yang kekanak-kanakan pun beranjak menaruh tas di atas meja lalu pergi ke kamar mandi. Rasanya tubuhku benar-benar panas, gatal, dan tidak nyaman dengan kondisiku saat ini. Buru-buru aku pun mengisi bathub dan memberikan bathbomb di dalamnya. Tanpa basa-basi aku menenggalkan semua pakaianku dan langsung masuk ke dalamnya. Sensasi yang begitu menyegarkan pun kurasakan, begitu menenangkan diiriku, dan membantu merilekskan pikiranku ini.

Kisah Julian : Keluarga Handoko ✔Where stories live. Discover now