Satu

11 2 0
                                    

"Lu maunya apa, sih?!"

Bian berkacak pinggang mendapati temannya sedang uring-uringan di bawah pohon rindang. Namanya Sabrina. Ia tak habis pikir dengan gadis itu. Seharusnya saat ini mereka sedang membahas persiapan lomba yang akan segera dilaksanakan, namun naasnya ada satu kabar yang membuat temannya itu justru menjadi tak terkendali.

"Mau kayak Kak Maudy! Aaakk," teriak Sabrina.

Mengingat lokasi mereka yang terlihat jelas dari depan ruang guru, Bian merasa frustasi. Pasalnya beberapa siswa lain mulai merasa aneh karena sikap Sabrina. Lebih parah, ia takut orang lain berpikiran ia melakukan sesuatu yang tidak-tidak pada gadis di hadapannya ini.

"Na, waras dikit bisa gak? Lu udah kayak orang kesurupan di bawah pohon astaga."

Sabrina langsung terduduk dan mengamati sekeliling. Benar saja, dirinya menjadi pusat perhatian. Terlanjur malu, ia hanya memamerkan senyum lebar sambil menggangguk seolah mengatakan, "maaf, hehe."

Sabrina merutuki kebodohannya. Ia kaget sekaligus baper setelah menerima surat dari Maudy, kakak kelasnya yang sudah menjadi alumni. Surat itu adalah surat undangan pernikahan. Ia yang begitu bucin namun tak pernah memiliki pacar akhirnya tersiksa sendiri. Alhasil Bian pun terkena imbasnya.

"Ya maap, baper tapi nyesek gue tadi."

"Nyesek terima kenyataan bahwa lu jomblo? Na, lu itu pinter loh di sekolah, masa mau dibodohin sama dunia percintaan."

"Gue kan remaja, wajar bucin."

Bian kehabisan akal dan tenaga menghadapi Sabrina. Gadis itu, terlihat menyedihkan dalam hal percintaan. Padahal ia bukan siswi yang bodoh, manis, dan dikenal banyak guru. Tapi ada satu hal yang menurut Bian menjadi alasan mengapa Sabrina tak kunjung didekati oleh lelaki sebayanya. Sabrina terlalu ambis untuk sekedar berteman dengan banyak orang atau terjun ke dunia organisasi.

Tentu saja, siapa yang sanggup bertahan jika keseharian Sabrina tak lepas dari bangku di kelas, perpustakaan, dan lab komputer? Mungkin hanya Bian dan satu dua teman lelaki yang masih bertahan.

"Bi, gabut. Anterin yuk," ajak Sabrina mengalihkan topik.

"Ke mana?"

"Masjid."

"Jarang-jarang lu gabut terus sholat dhuha."

"Bukan, gue mau numpang ngadem di sana," balas Sabrina datar.

"Hijab doang, sholat jarang," cibir Bian.

Empat kata itu hampir menusuk mental Sabrina. Untung saja kenyataannya tidak benar. Ia masih sadar akan kewajibannya sekalipun kelakuannya belum benar-benar baik.

"Wah, kurang asem mulut lo. Gue sholat wajib jalan lah, cuma yang sunnah emang kehalang males," sanggah Sabrina.

"Alesan."

"Emangnya elo? Yang lain Jum'atan, ini malah call sama doi."

"Gak usah bongkar kartu. Dah lah, gua cabut aja. Rese amat punya temen kayak lu."

Sabrina ternganga menatap kepergian Bian. Sama seperti sang pacar yang mudah badmood, Bian adalah tipikal cowok yang suka mengatai orang tapi akan marah bila dikatai kembali.

'Gue yang difitnah, kok dia yang marah?' batinnya.

°°°

Matahari sedang terik-teriknya ketika bel pulang sekolah berbunyi. Suasana kelas 12 IPS 2 dalam sepuluh menit langsung sepi seketika, menyisakan Sabrina dan Tania--teman kost sekaligus teman sebangkunya--yang sengaja berlama-lama di sana. Mereka memang selalu pulang paling akhir, entah untuk menyelesaikan tugas, bersantai, bahkan terkadang tidur di bangku kelas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 22, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

EncounterWhere stories live. Discover now