Kisah Julian : Keluarga Handoko [Part 14]

Mulai dari awal
                                    

"Maaf, ya Julian."

Pak Felix dengan sedikit tersenyum bangkit dari sofa dan hendak pergi meninggalkanku yang masih duduk dan memohon. Dengan frustasi, aku pun menghentikan kaki Pak Felix dan memohon kepadanya.

Memang, ini sangatlah drama. Aku pun saat itu tidak berpikir panjang dan refleks langsung bersujud di bawah Pak Felix karena saking frustasinya. Jujur saja, ini bukan bohongan ya karena memang benar aku ini sangat berambisi meraih juara umum satu yang tidak pernah kudapatkan sejak kelas 1 SMA dan sekarang adalah kesempatanku terakhir sebelum lulus, aku berharap bisa mendapatkannya. Aku berusaha mendapatkan nilai sempurna dari setiap mata pelajaran dan sejauh ini berjalan deng mulus. Aku tidak ingin semua rencana aku hancur hanya karena cacat pada satu nilai olahraga seperti lompat jauh ini. Aku benar-benar tidak terima.

"Tunggu sebentar Pak, saya mohon berikan saya kesempatan," kataku dengan nada sedikit merengek dan memelas.

"Saya akan melakukan apapun yang Bapak perintahkan. Bapak ingin saya membersihkan lapangan basket? Saya bisa. Bapak ingin saya jungkir balik? Saya bisa Pak."

Aku mulai ngelantur, sepertinya aku benar-benar sudah gila.

"Oke, oke, kamu ini segitunya banget ya pingin dapat nila. Sekarang lepaskan dulu kaki Bapak, ayo duduk dulu."

Berkat kerja keras dan usaha, akhirnya aku pun berhasil mendapatkan simpati dari Pak Felix. Kami berdua pun kembali duduk di sofa sebelumnya. Pa Felix menaruh tasnya di samping, kemudian dia menjatuhkan punggungnya di sofa dan sesaat memejamkan kedua matanya.

"Jadi, bagaimana Pak?" tanyaku.

"Duh, sebentar ya, Punggung Bapak pegel banget nih tadi habis ngajar dua kelas."

Melihat gelagat Pak Felix, aku pun merasa kalau guruku itu memberikan kode kepadaku. Segera aku pun bangkit dan berjalan menuju belakang tubuh Pak Felix. Aku langsung meraih kedua pundak Pak Felix yang kokoh itu. Kupijit tubuh Pak Felix dengan sebisaku. Sambil memijat aku pun menengok bagaimana reaksinya dan untunglah sepertinya Pak Felix menikmati pijatanku. Soalnya Pak Felix masih memejamkan matanya dan tidak ada tanda-tanda kalau dia merasa tidak nyaman.

"Gimana Pak, enak ga nih pijatan saya?" tanyaku seraya tertawa kecil.

"Yah, lumayanlah."

"Jadi Pak, saya bisa kan ikut penilaian susulannya?"

"Kalau itu tergantung usahamu."

"Usaha yang seperti apa Pak? Bukannya ini saya sudah pijatin Bapak?" tanyaku dengan ekspresi bingung.

"Sekarang kamu tutup dulu pintu itu dan kunci dari dalam. Habis itu tutup juga semua gordennya, Bapak ada tugas buat kamu. Ini sifatnya rahasia, bahkan di kalangan guru-guru cara ini biasa dilakukan untuk membantu para murid untuk mendapatkan nilai tambahan."

Saat itu juga aku mengikuti semua instruksi yang disuruh oleh Pak Felix. Entah mengapa semua itu terdengar biasa saja dan aku tidak sama sekali curiga. Sampai pada saat aku kembali mengambil posisi duduk di hadapan Pak Felix, aku baru menyadarinya.

"Pak?"

Aku benar-benar kaget bukan main. Hari ini benar-benar hari yang paling aneh dalam sejarah hidupku. Sepertinya takdir belum cukup  puas mempermainkan diriku, setelah sebelumnya menonton permainan Erik dan teman-teman bersama Pak Bram, kini yang ada di hadapanku saat ini adalah penampakan sebuah pentungan raksasa yang menjulang seperti monas. Benda tumpul itu terlihat sangat besar seperti milik Oliver dan berwarna hitam kecoklatan.

Pak Felix memainkan batang kejantanannya itu dan mengocoknya dengan santai di hadapanku.

"Kamu bilang sendiri mau ngelakuin apa aja kan? Sekarang kamu harus tanggung jawab, sini bantu bapak."

Pak Felix tanpa malu dan canggung menyuruhku untuk mendekat dan duduk disampingnya. Dia begitu santai seolah-olah sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Sungguh lagi-lagi mengejutkanku.

"Ayo, tunggu apalagi? Nanti kamu ga keburu istirahat dan makan siang loh."

Aku masih terdiam dan memasang ekspresi canggung. Jujur saja, mataku lagi-lagi tidak bisa menahan diri untuk menatap senjata pamungkas milik guruku itu. Aku benar-benar takjub dan tertarik untuk memegangnya. Sampai-sampai aku sengaja membuang muka agar Pak Felix tidak menyadarinya.

"Oke, ga masalah. Kalau kamu memang ga mau. Bapak anggap omongan kamu yang tadi hanya bualan saja."

Mendengar perkataan Pak Felix yang tiba-tiba itu membuatku langsung panik. Terlebih Pak Felix sudah membungkus kembali miliknya dan menaikan kembali celananya.

"Baik Pak! Akan saya lakukan apapun yang Bapak inginkan, asalkan Bapak janji akan mengabulkan permintaan saya tadi."

"Tentu saja," balas Pak Felix dengan senyuman penuh arti. Dia pun kembali menurunkan celananya dan bahkan sekarang melepas seluruhnya. Guruku itu tanpa merasa malu juga melepaskan seluruh pakaiannya dan melemparnya ke belakang sofa.

Kisah Julian : Keluarga Handoko ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang