16

2.1K 555 32
                                    

            Flash disk sudah siap, laptop sudah, kemeja putih, jas hitam, juga rok sepan dan pantofel. Hari ini Melani akan menjalani sidang akhir. Jadwalnya sore hari, antrian paling akhir di hari ini. Sejak tiga hari lalu ia mengajukan cuti, tak menerima pengambilan gambar, demi mempersiapkan momen ini.

"Mbak Mel, apa lagi yang harus Laksmi siapin?" Laksmi meletakkan tas endorse baru di atas ranjang Melani. "Kaus kaki, butuh? Mau make up di mana, biar Laksmi cek mana yang kosong untuk siang nanti."

Melani menggeleng santai. "Aku mau sidang akhir, bukan wisuda, gak perlu make up artist." Melani mengambil skripsinya, lalu memasukkan ke dalam tas bersama laptop dan barang kebutuhan lainnya. "Aku dandan sendiri aja. Tolong ambilin alat kriting rambut. Aku mau bikin curly di ujung rambut."

Laksmi mengangguk. "Makan siang, mau dipesenin apa?"

"Apa aja. Asal jangan yang berkuah. Aku takut bajuku kotor."

"Oke. Bebek goreng Senyum Pantura, ya. Dia mau endorse ke kita. Aku minta sample untuk kita coba." Laksmi lantas beranjak sambil memainkan ponselnya. "Karena mereka minta Mbak review rasa, jadi sebelum dealing, aku minta sampling."

Usai makan siang dan bersiap, Melani sudah cantik dengan stelan jas dan sepan hitam. Ia lebih tampak seperti eksekutif muda alih-alih mahasiswa. Riasannya sederhana, tetapi pancaran kecantikannya tak bisa ditutupi. Melani melangkah tegap keluar apartemen dengan tas berisi laptop dan skripsinya.

Sesampainya di kampus, jantung Melani berdegup kencang. Ia gugup, takut jika presentasinya gagal. Ia memang terbiasa bicara panjang lebar, tetapi bukan tentang penelitian. Bicaranya hanya seputar testimoni produk dan iklan. Meski sama-sama bicara, rasanya tetap beda. Ada tekanan tersendiri jika harus bicara tentang skripsi.

Melani turun mobil, mengambil perlengkapannya, lalu berjalan menuju ruang sidang. Di sana, ada beberapa mahasiswa yang berpakaian seperti dirinya, bersama mahasiwa lain yang bersorak sorai. Sidang mereka pasti berhasil dan teman-temannya ikut merayakan.

Nyali Melani perlahan turun. Ia seorang diri, tak ada yang dikenali. Teman seangkatannya sudah habis dan ia tak memiliki pendamping seperti mahasiswa lain. Ia sendiri, tanpa pendukung dan teman. Ia takut gagal dan tak mendapatkan sambutan yang sama.

Melani duduk di kursi tunggu sambil meremas remas kedua tangannya. Tubuhnya panas dingin dengan gugup yang semakin merajai. Ia menyadari berbagai macam tatapan yang menyorot kepadanya dari para mahasiswa yang berkumpul di depan ruang sidang. Semua itu semakin membuatnya tremor. Ia bukannya tak ingin berbaur, tetapi bincang dengan orang tak dikenal bukanlah gayanya.

Satu jam menunggu sambil memperlajari bahan presentasi, nama Melani dipanggil. Mahasiswa sebelum dirinya sudah keluar dengan sambutan meriah. Setelahnya, area ruang sidang seketika sepi karena hanya tinggal Melani sendiri. Ia baru tahu, semengenaskan ini menjadi mahasiswa abadi. Tak ada teman dekat dan pendukung di sidang akhir. Ia benar-benar seorang diri dengan segala kegugupan dan keraguan akan kemampuannya sendiri.

Di dalam ruang sidang ada empat dosen. Tiga diantaranya penguji, termasuk Haidar, lalu satu menjadi moderator. Melani membuka presentasinya, lalu dilanjut sidang skripsi. Rasanya menegangkan, meski para dosen itu tidak semenakutkan yang ia bayangkan. Gurat lelah tampak di wajah para penguji, tetapi kharisma dan aura intimidasi tetap saja melekat pada mereka.

Lima belas menit Melani presentasi, dilanjut pertanyaan demi pertanyaan yang harus dia jawab. Melani sedikit kalut karena Haidar hanya terdiam tanpa menyuarakan apapun. Entah pertanyaan atau pembelaan atas sanggahan yang dosen penguji utarakan. Semua Melani hadapi seorang diri dengan hati yang berguncang dan tubuh gemetar. Namun, ia berusaha menutupi itu dengan senyum dan gestur penuh keyakinan.

LovetivationWhere stories live. Discover now