2

2.7K 647 39
                                    

Melani memasuki lobi hotel dengan rasa takut. Kata Jeni, jika pria mengajak wanita yang tak dikenal bertemu di hotel, kemungkinan besar akan terjadi one night stand. Semua itu bisa ditebak, karena kebanyakan novel yang Jeni baca, menceritakan hal yang sama.

Tapi Haidar tak mungkin seperti itu! Melani menggeleng samar dan cepat, menendang ingatannya tentang ucapan Jeni. Yang berlaku seperti itu di novel kebanyakan CEO, anak band, presdir, selebritis, atau tokoh-tokoh dengan tubuh atletis dan wajah tampan. Haidar tak memiliki satu pun ciri-ciri yang biasa ada di novel bacaan Jeni.

Pertama, Haidar bukan CEO, presdir, apalagi selebriti. Pria itu hanyalah dosen yang kesehariannya berkutat di kampus saja. Kedua, Haidar tidak memiliki tubuh atletis dan wajah tampan. Perawakan pria itu sangat standart sekali. Melani yakin, tubuh Haidar tak memiliki six pack. Kemeja pria itu selalu tampak lurus, tanpa cetakan otot atau biseps yang membuat mata kaum hawa merasa nyaman. Kulit Haidar pun tak seputih para selebritis korea. Wajah khas pria jawa dan sawo matang, membuat Melani yakin Haidar tak mungkin memiliki kepercayaan diri setinggi milik CEO atau selebritis tokoh novel milik Jeni.

Ah, sudah, sudah! Melani menggeleng lagi. Jeni menyesatkan. Jadi, jangan pikirkan apapun ucapan Jeni sebelum ia meninggalkan apartemen untuk bertemu Haidar. Melani mengambil ponselnya, lalu menuju lift yang mengarah pada lantai dan nomor kamar Haidar. Jantung gadis itu berdetak tak keruan dengan pikiran yang masih saja berkecamuk. Ia merasa panas dingin hingga telapak tangannya berkeringat. Ia memang akan melakukan apapun demi skripsi, tetapi tak sudi jika harus melakukan cinta satu malam dengan Haidar. Big no no!

Melani menghela napas panjang, saat sudah di depan pintu dengen nomor sesuai yang Haidar informasikan. Ia mengetuk pintu, lalu tak lama sosok Haidar muncul.

“Se—selamat malam, Pak.” Melani menelan ludah dengan berat. “Saya—”

“Masuk.” Haidar menggerakkan kepalanya seraya melebarkan daun pintu.

“Maksud saya, Pak, saya mau—” Melani kalut, takut untuk masuk ke kamar itu. “Saya mau menjelaskan soal pesan saya. Itu tadi—” Ucapannya terhenti, karena Haidar berbalik dan menduluinya masuk ke kamar.

Melani membuka pintu lebar-lebar, lalu terperangah saat beberapa pasang mata kini mengarah kepadanya. “Kok, rame?”

Haidar yang sudah duduk di tepi ranjang, menatap Melani dengan satu alis terangkat. “Memangnya kamu kamu kamar ini sepi, hanya saya sendiri?” Suara lantang itu, membuat beberapa pasang mata yang masih menatap Melani, berubah dengan sorot curiga.

“Enggak, lah, Pak.” Melani menggeleng tegas, lalu berjalan pelan masuk ke dalam kamar. “Saya—mau bimbingan dan mengajukan beberapa judul baru. Semoga Bapak menyetujui satu saja judul yang saya buat.” Iya, katakan saja Melani yang buat, meski nyatanya bukan dia.

Haidar mengangguk. “Duduk.”

Melani menoleh ke kanan dan kiri, mencari sesuatu yang bisa menjadi tempat duduk,t tapi tak ada. Di kamar ini ada tujuh orang yang fokus pada buku, laptop, dan bundelan kertas. Entah apa yang mereka kerjakan, Melani tak memiliki ide tentang itu semua. Masalahnya, kursi di kamar ini hanya satu dan dipakai oleh salah satu yang sedang fokus dengan laptop.

Dehaman Haidar membuat fokus Melani kembali kepada Haidar. “I—iya, Pak?”

“Duduk, Melani.”

“Tapi kursinya dipakai, Pak.” Bahkan dua orang di kamar ini, berselonjor di lantai dan satu orang bersandar pada tembok sebelah toilet.

“Duduk di sebelah saya.” Haidar menepuk pelan ranjang yang ia duduki. “Kamu mau bimbingan, kan?”

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang