"Eum ... itu ... Mas Dodit."
Joshua menelan ludah. Seketika kalut mendengar pertanyaan tersebut. Lebih tepatnya tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Ditambah dia ingin langsung ke kamar mandi dan berganti pakaian. (Soalnya tubuhnya sudah mulai gatal-gatal).
Sesaat Dodit terkekeh.
"Ora popo (nggak apa-apa), kancaku. Kalau gitu, ayo bantu buat persiapan nanti malam. Nggih," ajak Dodit.
Dia mengulas senyum khasnya sembari menarik tubuh Joshua dan dirangkulnya bak teman yang sudah lama dia kenal. Nyaris membuat Joshua sesak.
Joshua tahu, Dodit tak akan pernah marah begitu. Malah seringkali dia jumpai, perawakan yang menyenangkan. Terkadang pula, membuat Joshua jijik setiap kali melihat tingkah laku pemuda di sebelahnya ini.
***
***
Terbesit dalam benak Joshua untuk menjumpai seseorang.
Meski Joshua sudah menyisir segala arah, dia hanya menjumpai beberapa pemuda sedang membenah-benah, keluar-masuk dari dapur ke tempat Joshua berada sekarang.
Beberapa meja mengkilap dan stok tisu merah dan hijau sudah disediakan. Botol saus cabe dan kecap tersusun rapi dan juga sendok-garpu berkumpul jadi satu dalam tempat. Tak lupa tumpukan bungkus kerupuk tergantung di setiap dinding.
Joshua masih celingak-celinguk begitu Dodit menyeret lengan Joshua menuju dapur.
Setiba di dapur, beberapa pasang mata memelototi sinis kepada Joshua. Dan melihat semuanya hampir beres, tak ada pekerjaan yang bisa dia lakukan.
Joshua mendapati Hendra di sana, sedang mengelap mangkok-mangkok.
Namun, niatnya menghampiri dia urungkan sesaat setelah Hendra tidak mengacuhkan kedatangannya.
Umar yang berdiri tepat di depan kompor sambil mengaduk-ngaduk kuah kaldu tak kalah memelotot sinis.
Pemuda berlesung itu lantas mendekat.
"Kemana saja kamu, Joshua Evans?"
Umar menatap dingin bersamaan tubuh Joshua yang seketika menggigil kedinginan, masih dengan pakaian yang sama.
Aura pemuda di hadapan semakin tidak mengenakkan.
"Kamu baru datang di saat semua sudah selesai."
Lantas Umar menodong Joshua dengan sendok spatula bulat. "Kalau kamu nggak ada niat kerja, dapat uang enak. Bukan di sini tempatnya."
Selama Joshua bekerja di tempat ini, alasan pertama adalah untuk membiayai dokumen baru tetapi urung, karena dokumen tersebut kembali ke tangan. Kedua, tentu untuk membeli tiket pulang ke rumah tetapi tidak jadi lantaran masih ada harapan untuk mencari ayahnya. Ketiga, kalau uang terkumpul. Itu akan menjadi bekal untuk perjalanannya selama di Jogja.
YOU ARE READING
Jendela Joshua (End)
General FictionDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Start from the beginning