TUJUH

203 13 0
                                    

Kepala Diva terlalu penuh dengan pemikiran tentang dia, Nathan, Raina dan kejadian yang baru saja terjadi saat Nathan membawanya keparkiran khusus karyawan diskotik tempatnya bekerja. Diva terlalu sibuk dengan pikirannya, hingga membuat dia tidak sadar kalau sekarang dia sudah berada di atas motor yang dikemudikan oleh Nathan. Tidak hanya itu, Diva juga tidak sadar kalau Nathan belum mengganti pakaian kerjanya ketika mereka keluar diskotik. Nathan masih menggunakan kemeja putih lengan pendeknya yang ditutupi oleh vest hitamnya, sedangkan lehernya dihiasi oleh dasi kupu-kupunya. Lalu untuk celananya, dia mengenakan celana bahan hitam, sama seperti pekerja lainnya.

"Turun," kata Nathan setelah mereka tiba di sebuah bangunan kecil yang Diva tebak adalah kumpulan dari beberapa apartemen sederhana. Apartemen yang biasanya dihuni oleh karyawan berpenghasilan pas-pasan.

Meski mendengar perintah Nathan, Diva tetap tidak bergerak. Diva tidak tau apakah pikirannya terlalu penuh dengan pemikiran atau malah kosong, hingga membuatnya seperti orang idiot sekarang. Idiot yang tidak tau caranya bergerak hanya karena sadar cintanya bertepuk sebelah tangan. Ya, Diva sudah sadar sekarang kalau cinta itu hanya ada pada dia sendiri saja, tidak pada Nathan.

Lalu setelah menyadarinya, sekarang apa? Melepas Nathan begitu saja? Membiarkan Nathan pergi kepada Raina semudah itu? Atau membuat dia menjadi satu-satunya pihak terluka disini? Oh tentu saja tidak, Diva tidak sebaik dan senaif itu ketika egonya sudah diganggu. Biasanya jika egonya sudah terusik, hal itu mampu membuat Diva bisa berubah menjadi sosok yang kadang dia sendiri tidak percaya kalau ada kepribadian itu dalam dirinya. Egonya ini mampu membuatnya bertindak dan berpikir di luar dari akal sehatnya. Dan sekarang egonya menyuruh Diva untuk melakukan sesuatu pada Nathan, sesuatu yang Diva pastikan tidak akan pernah dilupakan oleh laki-laki itu.

"Kamu duduk dulu. Aku buatkan kamu minuman." Ucap Nathan lagi setelah mereka sudah berada dalam apartemen studio sederhana milik laki-laki itu.

"Tidak... Tidak perlu. Aku tidak mau itu." Kata Diva dengan tatapan mata yang masih kosong namun kini tatapan itu tepat terarah pada mata Nathan.

Nathan menghela napasnya kecil, terlihat mengerti kalau tawaran minum darinya bukanlah sesuatu yang Diva butuhkan sekarang.

"Baiklah kalau kamu tidak mau minum, lalu kamu mau apa?" Tanya Nathan dengan nada sabar dan tenang khas miliknya ketika dia berhubungan dengan Diva.

Melihat reaksi itu, membuat Diva kembali teringat akan kenyataan Nathan yang tidak memiliki perasaan kepadanya. Membuat egonya yang tadi sudah terusik, semakin terusik lagi karena ketenangan Nathan yang tetap seperti biasanya. Padahal Nathan jelas sekali adalah pihak yang bersalah disini. Menurut Diva, Nathan bersalah karena telah menerima pernyataan cintanya, padahal laki-laki itu tidak bisa mencintai dia. Membuat Diva menjadi gadis bodoh dan menyedihkan karena tidak pernah tau bagaimana perasaan laki-laki itu sebenarnya. Selain itu, Nathan juga bersalah karena hanya bersikap sebagai pacar, tapi tidak memiliki perasaan sebagai pacar.

"Kamu tau kalau ini adalah hari ulang tahunku?" Tanya Diva dengan tatapan yang masih kosong kepada laki-laki yang berdiri dihadapannya itu.

Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Nathan, membuat Diva mengambil kesimpulan kalau Nathan tidak mengingatnya. Oh bukankah tahun lalu juga begitu, Nathan tidak tau kalau hari itu adalah hari ulang tahun Diva kalau bukan karena Deva Divo memberitahumya. Saat itu Diva bisa mengerti kenapa Nathan bisa tidak tau ulang tahunnya, karena memang itu adalah ulang tahun pertamanya sejak dia dan Nathan bersama.

"Lupakan saja kalau memang kamu tidak mengingatnya. Tak apa." Diva menjawab pertanyaan untuk dirinya sendiri.

Berbeda dengan sebelumnya yang menampilkan sorot mata kosong dan raut wajah datar, kalau kali ini raut wajah Diva bergantikan dengan senyum mengejek miris untuk dirinya sendiri. Namun senyum itu hanya sebentar saja karena kemudian dia menggantikan senyum itu dengan senyum angkuhnya.

DIVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang