"Mau ngapain?" Tanya Rere, dingin dan menusuk.

"Kita butuh bicara, tapi please nggak di sini."

"Apa lagi yang mau diomongin?"

Laki-laki itu maju selangkah, bersama amarahnya yang terpendam. Sejak malam itu, muncul satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Apakah ia masih bisa menggapai Rere yang kini berlari darinya?

"Re, please. Kita keluar bentar ya?"

"Kalo nggak di sini, mending gak usah."

Melihat Rere yang tetap defensif, Akbar mengalah. "Okay!"

Pintu rumah tertutup, mencegah suara yang akan mereka timbulkan tidak terdengar hingga ke luar. Akbar masih berdiri di depan pintu, menghadap Rere yang berdiri di hadapannya sambil bersedekap.

Rere yakin sebentar lagi Akbar akan meminta maaf, atau mengobral janji dan sumpah seperti yang sudah-sudah.

"Apa?"

Perubahan air muka pada wajah Akbar membuat Rere merasa sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Bukan karena laki-laki itu akan memarahinya atau berbuat macam-macam, namun dari tempatnya berdiri ia bisa melihat dengan jelas bahwa Akbar sedang menyusun kata dalam diam.

"Aku mau kamu klarifikasi tentang apa aja yang kamu bilang ke mamaku."

Rere terkesiap, tak menyangka atas kalimat laki-laki itu. Ia menarik napas dan berusaha untuk mengeluarkannya dengan pelan agar tidak terlalu terdengar.

"Nyokap lo bilangnya apa?"

Melihat perubahan drastis sikap Rere, Akbar jadi terpancing. "Oke, jadi ada yang ngarang cerita. Bilang, mergokin gue lagi berduaan sama cewek di kafe sampe gelendotan."

Setelah mendengar pernyataan Akbar, Rere jadi tersulut. Perempuan itu tertawa getir. Tangannya masih terlipat di depan dada. "Terus lo maunya dia bilang apa?"

"Lo tanya mau gue apa? Just keep quite! Biarin ini kita berdua aja yang tau!"

"Jadi lo nyamperin gue cuma karna lo nggak terima kalo lo bersalah?" Rere menurunkan tangannya. "Jadi, gue gitu ya yang salah?"

Akbar diam sejenak, berusaha mencerna kata-kata yang secara spontan keluar dari mulutnya beberapa detik lalu.

"Gue nggak nyangka ya, Re seniat itu lo jelekin nama gue. How cruel can you be?"

Rere menatap Akbar tidak percaya, berharap kalau apa yang baru saja dikatakan laki-laki itu langsung diralat.

"What? Cruel?" Rere berujar dingin dan sarkas. "Kalo gue cruel, gue bisa aja ungkapin every single things at that night to anyone! Tapi apa? I choose not to!"

Akbar terdiam. Rona merah wajahnya mulai terlihat. Emosinya bercampur aduk. Selain malu, ia juga merasa takut dan marah.

"Lo tau alasannya apa, Bar?" Rere menunjuk wajah Akbar, lalu berteriak. "Because i fucking care about you!" Sesayang itu gue sama lo, bangsat! Lanjutnya dalam hati.

Real TalkWhere stories live. Discover now