Pemberontakan

6 0 0
                                    

Sudah larut malam tetapi Elliya masih terduduk di kursi belajarnya dengan buku yang masih terbuka. Matanya tertuju ke halaman buku itu tetapi tak satupun kata yang melekat ke otaknya. Dari arah lantai bawah terdengar suara gaduh orang berlarian. Sesekali terdengar pembicaraan dengan nada tinggi. Meski dengan kebisingan yang terdengar sampai kamarnya, dia tetap enggan keluar untuk mengintip ke lantai bawah. Meski tidak melihatnya, Elli tahu apa-kenapa-siapa yang membuat suara gaduh tersebut. Hal seperti itu sudah sering terjadi paling tidak seminggu sekali. Mereka adalah Ayah dan Ibu Elli yang sedang sibuk mengemas pakaian dan barang untuk dibawa kerumah sakit. Sore tadi sang kakak, Darwin dilarikan kerumah sakit karena komplikasi gangguan ginjal. Sejak kecil Darwin menderita leukimia dan seiring berjalan waktu penyakit tersebut menimbulkan komplikasi di tubuhnya.
Elli bukannya tak merasa peduli dengan sang kakak. Hanya saja dia lelah. Setiap sang kakak menginap di rumah sakit ada saja hal kecil yang membuat Ayah dan Ibu berdebat. Malam itupun mereka berangkat kerumah sakit dengan masih berdebat di dalam mobil. Mereka pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan anak bungsu mereka. Mungkin mereka lupa jika masih ada anak bungsu dirumah ini. Itulah yang selalu Elli pikirkan tentang kedua orngtuanya.
Malam itu Elli memejamkan paksa matanya. Dia membenamkan wajahnya kedalam bantal. Dipeluknya bantal itu erat. Samar-samar suara dari sekitarnya mulai tidak terdengar. Perlahan menghilang. Matanya pun terpejam. Lelap.

******************************************

Pagi hari Elli masih belum menjumpai orangtuanya. Mungkin mereka masih menunggu sang kakak. Entahlah, dia enggan memikirkannya. Dia segera membenahi diri untuk berangkat ke sekolah. Tahun ini dia menginjak kelas 2 SMA dan Elli ragu apa orangtuanya sadar atau tidak. Bahkan untuk sarapan saja hampir setiap hari dia menumpang di rumah tetangga sebelah. Pagi itu Elli berangkat dengan selembar roti tawar yang digigit dimulutnya sambil berjalan membaca buku sekolah.
TAKK
Dari arah belakang seseorang menyentil lengan Elliya dan membuat yang digigitnya jatuh.
EL: "Nino?"
Si empunya nama tertawa jahil memandang Elli.
EL: "Makasih ya. Barusan yang lu jatuhin itu satu-satunya sarapan gue."
Ni: "Hehe..Jangan marah sih. Nyokap udah bawain bekal sarapan. Nanti makan bareng ya?"
Nino memamerkan bungkusan yang di tenteng dengan bangga. Ya, dia adalah si "tetangga sebelah" yang selalu ditumpangi oleh Elliya untuk makan.
Ni: "Semalem gue lihat Oom Tante pergi naik mobil. Bang Darwin sakit lagi emang?"
EL: "Emang kapan dia enggak sakit sih?"
Ni: "Hush..jangan deh ngomong gitu. Kan buat mau Bang Darwin dia sakit."
EL: "Loh .. emang kata-kata gue sebelah mana yang bilang kalo dia sakit karena kemauan sendiri?"
Ni: "Bukan "dia" Elli. Tapi "Bang Darwin". Lu sadar enggak sih akhir-akhir ini Lu kayak enggan buat sebut nama abang Lu sendiri."
EL: "Lu enggak berlajar bahasa indo dasar? Itu namanya kata ganti orang,Nino. Gue bukannya enggan."
Elliya menambah kecepatan langkah kakinya meninggalkan Nino dengan tentengan bekal sarapannya. Masih dengan muka masam Elli naik kedalam bus jurusan sekolahnya. Sepanjang perjalanan tak satupun kata keluar dari mulutnya meski Elli dan Nino bersebelahan di bus. Elli hanya terus fokus membaca buku di depannya. Nino yang sedari tadi berhimpitan dengan orang-orang didalam bus bahkan hampir membuat keributan pun tak dihiraukannya.
Ni: " Gue enggak ngerti deh El."
Ucap Nino setelah turun dari bus dan berjalan menuju gerbang. Elli masih acuh meski langkah kakinya mulai melambat.
Ni: "Sebelah mana sih yang bikin elu marah?"
Nino menarik tangan Elli pelan berharap gadis itu memperhatikannya.
Ni: "Gue tahu selama ini lu juga ngerasa berat. Harus apa-apa sendiri. Harus mau memaklumi segala situasi dari keluarga lu. Tapi bukan lu doang yang lagi susah El..abang lu juga. Oom dan tante juga pasti."
Elliya tersenyum sarkas dan hanya menaikkan ujung bibirnya sedikit.
EL: "Tadi lu tanya kenapa gue marah? Sayangnya gue ga punya alesan yang jelas kenapa gue marah. Gue emang gitu. Kalo keluarga diungkit gue benci. Kalo gue inget kaya gimana gue dulu ngerasa sendiri gue marah. Mungkin emang gue lagi marah dan benci ke diri gue sendiri. Oh..ternyata gue orang yang serakah selalu ngerasa ga bahagia sendiri. Makanya, please jangan ngebahas masalah keluarga gue lagi. Oke? Gue cuma pengin bahagia, Nino."
Setelah berbicara panjang lebar Elli meninggalkan Nino lagi dengan mempercepat langkahnya. Sesaat setelah memasuki gerbang dia melihat sepasang suami istri turun dari mobil disusul seorang gadis dengan berpakaian non seragam dibelakangnya. Mereka berjalan menuju area kantor guru. Mungkin mereka orangtua yang mengantarkan putri mereka untuk pendaftaran sekolah.
Hancur sudah mood Elli pagi itu. Setelah sedikit percekcokan dengan Nino, kini dia melihat keharmonisan sebuah keluarga kecil yang sudah lama dia lupakan. Akhirnya pagi itu Elli masuk ke kelas dengan aura yang dingin bak putri es. Nino yang berjalan Dibelakangnya hanya bisa tersenyum pasrah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 04, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sonic YouthWhere stories live. Discover now