keduabelas

514 123 6
                                    


Setelah hari itu, Sekala sulit ditemui. Bukan, bukan Anin mencari Sekala kemana-mana, tapi lebih kepada Sekala yang tidak pernah ada di setiap netranya memandang.

Sekala tidak ada di tempat yang Anin datangi, di tempat yang Anin pandangi, dimanapun, ga ada.

Satu hal yang ia pikirkan adalah, Sekala marah. Sebenarnya saat Winna menyuruh dia untuk ganti seragam, Anin ga langsung masuk ke dalam toilet, ia masih mengambil dengar percakapn Sekala dan Winna saat itu dan jujur Anin kaget, bagaimanapun perkataan Winna termasuk perkataan yang kasar dan orang yang sedang dia hadapi adalah sahabat Saviera —Sekala bukanlah orang lain dan Anin tau Saviera tentu punya tempat khusus hingga Sekala bisa bersikap seperti itu.

Begini logikanya, jika memang Saviera ga sedekat itu, tentu Sekala ga akan repot-repot datang kepadanya memberikan baju ganti dan meminta maaf secara cuma-cuma. Ga bisa disangkal memang, Saviera seseorang yang punya posisi khusus dalam hidup Sekala.

Maka dari itu Anin takut, takut sekali Sekala marah dan menjauh dari dia. Karena bagaimanapun ia juga tidak bisa menyalahkan Winna, wajar saja sahabatnya itu marah karena kalau dia jadi Winna tentu akan melakukan hal serupa.

Anin sebenarnya kepikiran, beberapa kali kedapatan tidak fokus sampai Winna menyikut sikunya. "Nin, lo kenapa? 5 hari, gue hitung 5 hari lo kaya gini. Lo masih mikirin insiden jus jeruk? Atau kata-kata gue ke Sekala?"

Tak menjawab, Anin justru menggeleng dan menenggelamkan kepalanya ke meja. Melihat itu agaknya Winna merasa bersalah, karena sudah bersikap terlalu kasar pada Sekala. Tapi lebih dari itu, Winna hanya ingin Sekala tahu bahwa walaupun Saviera sahabatnya, bukan berarti ia bisa membela gadis itu karena jelas dia salah.

"Gue nanti minta maaf aja ya, salah gue juga." Anin kembali menggeleng dalam posisi menelungkup, Winna masih bisa mendengar saat gadis itu mengucapkan kata bahwa ia rindu Sekala.

"Gue awalnya ga pernah nyari, tapi ini udah 5 hari dia ga ada dimana-mana, ga pernah ada. Gue takut dia sengaja  ngehindarin gue, Win."

"Ga gitu, Nin."

"Bisa aja. Karena dia ngerasa beraalah atas apa yang Saviera lakuin ke gue."

"Loh, kenapa jadi Sekala yang ribet, sih. Ga, ga mungkin gitu, Nin. Udah lo jangan mikir yang aneh-aneh. Ga akan ada apa-apa. Mungkin waktunya aja lagi ga tepat. Pas Sekala kesitu, lo ke tempat lain dan sebaliknya. Jadi ga ketemu, deh."

"Huh, gue gatau." Lirih Anin. Pikirannya melanglang buana, mungkin ga akan seperti ini jika dia memilih untuk tetap menjadi penggemar rahasia Sekala, mungkin dia tetap bebas menemukan Sekala karena entah kenapa tuhan maha baik sekali, dulu saat dia masih menjadi pengagum rahasia, tanpa diminta pun Sekala pasti ada saat Anin memikirkan laki-laki itu.

Rasanya ga adil, karena justru Sekala susah ditemukan saat mereka kini sudah kenal dan dalam waktu singkat, ada banyak kejadian yang menuntun dia untuk lebih dekat dengan laki-laki itu.

"Win, istirahat nanti gue ga ikut ke kantin, ya."

"Kenapa, Nin? Masih kepikiran?"

"Ngga juga. Gue mau ke perpus aja, deh. Mau cari buku inceran gue kayanya udah dibalikin sama yang minjem."

"Mau ditemenin ga?"

Anin menggeleng, "Mau sendiri aja." Winna tak membalas lagi dan mengiyakan ucapan Anin.

---

"Bu, buku 'dan hujanpun berhenti' udah dibalikin belum, ya? Soalnya tiga hari lalu saya kesini kata ibu bukunya bakal dibalikin hari ini sama siswa yang minjem," ucap Anin saat masuk ruang perpus dan langsung menanyakan buku yang ia maksud.

Bu Hani lantas memeriksa daftar pengembalian buku dan mengangguk, "Udah, kamu cek di rak 504, ya." Anin mengangguk dan bergegas ke rak yang dimaksud.

Derap langkah samar-samar Anin dengar, maklum perpus sedang sepi jadi langkah seseorang mendekat pun bisa terdengar dengan jelas.

Anin menoleh, namun tertegun untuk beberapa saat.

"Hai, Ninna. Kamu apa kabar?"

Sepersekian detik Anin membeku, jantungnya mulai berdebar dan berbagai emosi langsung menguasai dia. Hampir saja Anin memarahi sosok di depannya itu namun urung ketika tiba-tiba ia ditabrak dari belakang.

"Maaf, maaf. Gue ga sengaja. Lo gapapa, Nin?"

Anin makin tertegun, berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini.

Di depannya, yang masih menunggu jawaban tentang kabarnya pun masih ia abaikan, ditambah kehadiran Sekala setelah beberapa hari menghantui kepalanya turut membuat otaknya beku untuk berpikir.

"Kayanya kamu baik-baik aja?" Tanya sosok di depannya, lagi.

Barulah saat itu Anin menjawab dengan anggukan. "Ya, aku —gue baik-baik aja. Ngapain ke sekolah gue?"

"Adik aku sekolah disini, Nin. Aku mau jemput dia."

"Oh, oke." Anin akan pergi tapi tangannya ditahan oleh laki-laki itu.

"Mau apa lagi, Kak? Gue udah ga punya urusan sama lo."

"Nin, yaelah maafin aku. Aku sadar dulu aku salah dan sekarang mau memperbaiki itu."

"Bukan waktunya, dan disini bukan tempat buat hal kaya gini. Lepasin, gue mau ke kelas." Namun laki-laki itu enggan melepaskan tangannya, bahkan bisa dipastikan pergelangan tangan Anin memerah sekarang.

"Kak, plis. Ga gini."

"Ya kamu harus ngomong dulu sama ak—

"Maaf tapi ini perpus, bukan tempat untuk ribut." Sekala datang dengan tiga buku di tangannya. Sebenarnya sehabis tertabrak Anin tadi dia ke rak sebelah dan pembicaraan Anin bersama orang asing itu masih bisa terdengar. Jadi ketika ia melihat Anin tidak suka dengan orang asing itu, Sekala inisiatif membantu Anin.

"Jangan ikut campur."

"Dia teman saya, dan ini perpus sekolah saya, saya punya hak untuk menegur orang asing yang bersikap semena-mena di lingkungan sekolah saya."

"Sial! Sok ngatur, lo! Inget, kamu masih punya urusan sama aku, Nin." Ucap laki-laki itu lantas melepas tangan Anin dan keluar meninggalkan ruangan.

Sekala beralih melihat pergelangan tangan Anin dan ternyata benar sampai memerah saking eratnya orang asing tadi memegang tangan Anin.

Sekala tau gadis itu ketakutan, bahunya bergetar samar dan tangannya juga gemetar. Sorot mata redup milik Anin terpancar jelas karena kini netranya dan Anin bertemu, saling memandang sampai sorot yang tadinya redup itu terlingkupi selaput tipis membuatnya berkaca-kaca.

"Lo gapa—

"Lo ga ada dimana-mana, Ka. 5 hari ini, lo dimana? Lo ngehindarin gue?"

---



chasing you ─sunghoon.Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz