39. Mimpi yang Menjadi Kenyataan

2.1K 151 47
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU?

a spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.

Selamat Membaca 🤗

***

"Ada apa, Ustadzah? Tumben ngajak Aya ketemu?" tanya Cahaya setelah mendaratkan bokongnya di kursi.

Rumah makan Padang menjadi pilihan untuk mengajak Cahaya bertemu. Husna pun juga sudah memesankan makanan untuk Cahaya.

"Makanlah, Cahaya," suruh Husna. Wanita itu sudah dahulu membasuh tangannya dan mulai makan.

Rendang dan sambalado tanak menjadi menu utama kali ini. Khas Minang kabau yang begitu lekat di lidah meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Adukan santan yang pas, cabe yang pedas akan tetapi membuat ketagihan.

"Wah ... jadi ustadzah ngajakin makan?" tanya Cahaya dengan senang. "Oke deh, karena Aya laper, Aya makan." Dia pun mulai mencuci tangan. Menarik lengan baju agar tak kotor selama makan.

"Rumah makan Padang ini beneran enak, Cahaya. Saya yakin, nanti malam kamu pasti kepengen lagi," canda Husna senantiasa mengunyah makanan.

Cahaya tersenyum lebar. Gadis bermata itu indah itu sudah kembali memancarkan senyumannya, sudah tak lagi bersedih atas patah hati yang ia derita. Lingkar hitam dibawah matanya pun juga tak lagi ada.

Nasihat Rudi kemarin menyadarkan Cahaya bahwa tidak ada gunanya bersedih terlalu lama. Bahkan jika dia tetap menangis dan galau terus-menerus akankah ada jaminan Fathan menjadi miliknya?

Jauh di lubuk hati, Cahaya masih sangat mencintai Fathan. Namun realita menamparnya, menyadarkannya bahwa Fathan sudah menjadi milik orang lain.

"Kenapa ga ngajak Zafran, Ustadzah?" tanya Cahaya yang teringat dengan bayi itu.

Husna tersenyum dia melambaikan tangan ke arah belakang Cahaya. Spontan saja gadis itu menoleh ke belakang dan ternyata ada Fathan yang datang bersama putra mereka.

"Zafran menyusul dengan abinya," jawab Husna.

Fathan sampai disana, dia langsung duduk disebelah Husna dan berhadapan dengan Cahaya yang tengah menyuap nasi ke dalam mulutnya.

"Makan, Stadz," basa basi Cahaya.

"Saya sudah makan, lanjut lah," jawab Fathan. Fokus pria itu kini pada Zafran anak mereka yang tengah mengompeng.

***

"Sekarang kita bertiga udah bertemu. Aku sengaja mengajak kita bertemu karena ada hal yang ingin aku sampaikan." Husna meraih Zafran dari gendongan Fathan yang sudah terlelap.

"Tumben, kamu ada kejutan apa?" tanya Fathan tersenyum malu-malu. Sesekali melirik Cahaya yang tampak penasaran dengan ucapan Husna selanjutnya.

"Aku punya sebuah permohonan dan aku harap, baik itu Cahaya atau pun Mas bisa memenuhinya." Dia berkata dengan sangat tenang. "Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang, dan ini aku lakukan demi kebaikan kita bersama."

"Mas ... tolong jangan potong ucapan aku, ya," mohon Husna dengan mata sayu penuh harap.

"Cahaya dan Mas saling mencintai, aku tahu itu." Husna berkata dengan sangat pelan. Air matanya sudah tumpah sebelum mengatakan inti pembahasan yang akan dia sampaikan.

"Aku melihat cinta diantara kalian, cinta yang seharusnya bersatu malah terhalangi dengan kehadiran aku."

"Ustadzah ...," panggil Cahaya namun dihiraukan.

"Cahaya ... maafkan saya karena sudah mematahkan angan kamu yang berharap Mas Fathan menjadi suamimu. Dan untuk Mas ... maafkan aku karena telat memberi jawaban, maaf karena aku menerima lamaran Mas ketika mas sudah jatuh cinta sama orang lain."

"Husna...," Dan panggilan Fathan pun dihiraukan.

"Aku minta maaf untuk semuanya. Aku minta maaf karena aku kalian merasakan sakit hati dan tersiksa. Dan untuk menebus kesalahanku ...." Husna menoleh pada Cahaya.

"Menikahlah dengan suamiku, Cahaya," pintanya dengan tulus.

Bola mata Cahaya dan Fathan sama sama membesar, keduanya sama terkejutnya karena permintaan Husna yang frontal. Wanita itu seperti anak-anak yang meminta orang lain untuk bermain dengannya.

"Husna ... kamu gila?" tanya Fathan menggelengkan kepalanya.

Husna meraih tangan Fathan. "Bukankah Mas mencintai Cahaya?" tanya Husna.


Fathan langsung saja melepas tangannya yang digenggam oleh Husna. "Kamu?!" Urat urat dilehernya langsung mengeras, dia menggertakkan gerahamnya karena tak suka.

"Menikahlah dengan Cahaya," kata Husna sekali lagi.

Fathan mengangkat wajah Husna agar bisa menatapnya. "Kamu menyuruh aku menikah?  Kamu gila?!"

"Aku ga gila, Mas. Ini keputusan yang terbaik! Kalian saling mencintai dan menikah adalah jalan terbaik!"

"Tidak semua cinta berakhir dengan pernikahan, Husna. Bahkan Rasulullah tidak menikah dengan cinta pertamanya!" tekan Fathan dengan nada lantang. "Kamu pikir aku apa?!"

Husna memperbaiki posisi duduknya. Dia merasa heran, padahal ini adalah keputusan yang terbaik lantas mengapa Fathan marah.

"Jangan karena menghormati aku Mas jadi mengorbankan perasaan, Mas! Aku ga mau! Cukup sekian tahun aku nyakitin Mas dengan penolakan yang jelas-jelas itu udah menyakiti Mas. Tapi kali ini, saat Mas kembali jatuh cinta, aku ga mau mas tersakiti."

Fathan memukul meja dengan keras sebagai penyalur emosinya. Mimpi yang pernah dia alami akhirnya menjadi kenyataan. Sungguh, ini adalah hal yang paling ditakutkan oleh Fathan.

Menikahi Cahaya?

Benar, dirinya memang mencintai gadis itu akan tetapi dia tak bisa melanggar janji yang telah dia buat.

"Kamu lupa?" tanya Fathan. "Kamu lupa kalau aku berjanji akan menjadikan kamu seperti istri Rasulullah, Khadijah?! Istri satu-satunya yang tidak pernah di madu!" Lelaki itu menarik napasnya. "Aku berjanji dihadapan orang tua kamu bahwa aku ga akan menduakan kamu, Husna. Ga akan pernah!"

"Engga perlu, Mas."

"HUSNA!"

"Dan karena perjanjian itu kamu ga mau memenuhi keinginan aku, Mas. Sekalipun ga ada perjanjian, aku akan tetap meminta Mas melakukan ini demi Cahaya! Demi perasaan Mas!"

"HUSNA!"

"FATHAN!"

Lelaki  itu terdiam ketika Husna memanggilnya tanpa sebutan "Mas" yang artinya Fathan harus mengalah dengan apa yang Husna katakan.

"Menikahlah dengan Cahaya."

***

......
Vote vote vote 📈

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Where stories live. Discover now