36. Datang dan Hilang

1.6K 138 22
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU

A spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.
.

Selamat Membaca 💜💜

***

"Kamu yakin rasa cinta kamu pada Fathan berhenti sampai disini?"

Langkahnya terhenti sedangkan jantungnya bergemuruh hebat. Keringat dingin mengucur di pelipisnya juga tubuh yang gemetaran. Suara wanita yang tentu saja itu adalah Husna.

"Cahaya ...!" Dia memanggil.

Cahaya masih enggan untuk berbalik tidak siap melihat pada Husna---istri dari orang yang dicintainya. Jika Husna tahu perihal cinta yang akan berhenti sampai disini, itu artinya dia mendengar pembicaraan antar Fathan dan dirinya.

Husna melangkah maju, satu tangannya menyentuh pundak Cahaya. "Mari bicara sebentar," ajaknya.

Karena mendapat ajakan yang tulus dari Husna gadis bermata indah itu tidak bisa menolaknya. Dia terpaksa berbalik dan mengikuti langkah Husna ke taman depan gerbang. Dimana ada bangku-bangku yang dirancang dengan kreativitas siswa yang ditaruh disana.

Setelah mereka sama-sama duduk, Cahaya sama sekali tak berani menoleh ataupun melihat pada Husna. Dia merasa sangat bersalah karena masih mencintai suami orang.

"Kamu kuliah jurusan apa?" tanya Husna.

Cahaya menjawab dengan grogi. "Akuntansi, Ustadzah."

"MaasyaaAllah ... berarti kamu adalah orang yang teliti. Saya dulu benci dengan pelajaran itu karena terlalu banyak angka-angka. Saya ga bisa detail dan teliti." Wanita itu tersenyum. "Kamu orang yang detail, Cahaya."

Gadis itu sontak terkejut, dalam satu hari bertemu dengan Husna dan Fathan dia mendengar kalimat yang sama dari keduanya. Bahwasanya dirinya adalah seorang yang detail.

"Alhamdulillah, Ustadzah. Aya dulu di rekomendasikan oleh ustadz Zul," jawab Cahaya dengan jujur karena memang pada kenyataannya begitu.

"Faizul?" tanya Husna memastikan.

"Iya, Ustadzah."

"Kamu dan Faizul dekat?" tanya Husna lagi.

Cahaya tersenyum. "Bisa dibilang begitu, Ustadzah. Soalnya Aya dulu sering modus sama ustadz Zul."

"Kalau dengan Fathan?" tanya Husna dengan pelan namun terasa tajam di pendengaran Cahaya.

"H-hah? Gimana ustadzah?" Dia berpura pura bodoh.

"Kamu dekat dengan suami saya?" tanya Husna.

Kalimat barusan seperti penekan buat Cahaya. 'Suami saya' seolah menegaskan bahwa Fathan adalah miliknya.

"Lebih Kurang begitu, ustazah," jawab Cahaya dengan suara memelan.

Mendengar kejujuran daru Cahaya membuat Husna lega, dia memang mendengar percakapan antar Fathan dan Cahaya saat di perpustakaan tadi. Husna mengira bahwa Fathan hanya seorang diri disana ternyata tidak.

"Saya mendengar pembicaraan kalian tadi," kata Husna yang tentu saja membuat kedua bola mata Cahaya membesar.  "Saya menyadari satu hal bahwa ternyata suami saya sedang dicintai oleh seseorang. Dan mungkin ... begitu juga sebaliknya."

"Ustadzah..."

"Ga pa-pa." Dia tersenyum. "Karena cinta itu fitrah, Cahaya. Kita ga bisa memaksakan untuk mencintai atau berhenti mencintai seseorang. Sekalipun orang tersebut sudah menjadi milik orang lain, yang namanya cinta dia akan datang tanpa dicegah." Husna berkata dengan bijak, dengan sangat tenang.

"Ustadzah ... maaf," pinta Cahaya merasa bersalah.

"Cahaya ... kamu tidak salah." Husna meraih tangan Cahaya. "Tidak ada yang salah antar kalian. Selagi tidak berbuat apa-apa, maka tidak ada yang salah, Cahaya."

"Ustadzah, Aya minta maaf jika cinta Aya menggangu ustadzah," pinta Cahaya menundukkan kepalanya menahan tangis yang hendak tumpah karena tidak tertahankan.

"Sama sekali tidak menggangu, Cahaya." Husna menegaskan. "Karena saya sadar jika cinta itu akan datang dan hilang dengan sendirinya. Seperti saya yang baru mencintai Fathan setelah tujuh tahun penantiannya."

"Jangan merasa bersalah dan stop untuk menangis." Husna mengangkat kepala Cahaya dan menghapus air matanya. "Wajah cantik dan mata indah ini jadi jelek karena kamu terlalu sering menangis."

"Ustadzah ... terima kasih," ucap Cahaya seraya memeluk Husna.

Husna memberikan senyuman dan membalas pelukan Cahaya. Hadirnya Cahaya seperti adik sendiri, Husna pun sama sekali tidak masalah jika Cahaya mencintai Fathan karena dia yakin komitmen dalam pernikahannya dengan Fathan.

***

Audy memberikan tatapan tajam pada Zaki ketika lelaki itu dengan sengaja memasukkan tangannya pada minuman yang baru saja di pesan olehnya.

"Demi ketek gue yang wanginya tujuh turunan! Lo anak setan!!!!!"

Teriakan Audy membuat greger seluruh penjuru kafe. Bahkan menyita banyak perhatian karena ucapannya yang selalu di embeli dengan ketek.

Sore ini Audy dan Zaki kembali mengunjungi Cafe karena ingin membahas bisnis mereka. Dua orang itu ingin memulai sebuah usaha dengan modal mereka berdua. Ingin membuka klinik layanan psikiater.

"Dengan sentuhan tangan psikiater dari gue ... gue jamin, ilmu yang udah Lo pelajari makin lengket," canda Zaki.

Audy mendelik tak suka. "Psikiater bapak Lo! Lo perlu ambil sekolah khusus dulu baru bisa buka praktek. Jangan Lo pikir lulus sebagai mahasiswa berprestasi dari jurusan psikologi bakalan buat Lo langsung buka praktek!"

"Lagian Lo tolol atau apa sih, ha? Ngajakin gue buka klinik psikiater?! Halo! Lo itu belum cukup pengalaman, masa udah mau langsung buka? Pakai ngajakin gue segala, kaya ga ada orang lain aja!" omel Audy habis-habisan.

"Ini 'kan baru rencana, Dy. Lo gimana, sih?" jawab Zaki manggut-manggut. "Emang Lo ga mau nongkrong disini bareng gue?"

Audy tersenyum miring, sepertinya dia menangkap maksud lain dari ajakan Zaki pada pertemuan ini.

"Lo suka sama Gue?" tembaknya langsung.

"Gila Lo!"

"Iya, kan?"

"Kepedean!" Zaki menolak dengan tegas.

"Kalau Lo ga suka, kenapa Lo ajakin gue kesini?" tanya Audy.

"Biasa aja kali ngajak? Dari pada ngajakin Gibran yang bucin terus sama Aya." Gibran memberikan jawaban yang masuk akal.

"Yakin Lo ga suka sama gue? Gue cantik, lho!"

"Ya salam! Ini anak kenapa, sih?!"

***

Alhamdulillah update!
Ingetin Nda supaya update setiap hari yaaa📈 sering lupa soalnya.

Oh iya, janjinya abis isya tapi malah agak telat.

Ayam sori😭 tadi keasyikan nonton Popo di tik tok 😂😂

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang