29. Kenyataan Pahit

1.8K 143 16
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU?

A spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.
.
Baca dulu bab sebelumnya supaya ga ketinggalan dan feel nya dapet😂

Selamat Membaca 🤗

***

"Emang ayahnya yang mana, ustadzah?" tanya Cahaya penasaran.

"Berdiri disamping saya. Elfathan Aarav Ramadhan. Dia suami saya, Cahaya."

Saat itu juga rasanya ada yang memukul jantung Cahaya dengan keras. Membuatnya jatuh hingga sampai ke perut rasanya. Kepalanya langsung pusing ketika mendengar kalimat barusan.

"J-jadi ustadz udah menikah?" tanya Cahaya dengan suara bergetar saat menoleh ke arah Fathan. Air mata di pelupuk matanya kian membendung namun sekuat tenaga ia tahan.

"Benar, Cahaya."

"D-dan juga udah punya anak?" Gadis itu kembali memastikan.

Dengan pelan Fathan mengangguk. "Alhamdulillah, saya sudah punya seorang anak laki-laki," jawabnya.

Runtuh sudah pertahanan Cahaya. Tak bisa dicegah air matanya kini jatuh membasahi pipinya. Jantungnya terasa sakit sekali karena kali ini remasan didalam sana semakin kuat dan menjadi-jadi. Menunjukkan bahwa dia tak mampu menerima kenyataan yang sebenarnya.

"Aku permisi dulu," pamit Husna ketika mendengar bel masuk berbunyi. Meninggalkan dua orang yang saling memiliki perasaan itu di pintu taman.

"Ustadz ... masih bolehkah Aya melamar? Disaat ustadz sudah menjadi suami orang lain?" tanya gadis itu dengan lirih.

Fathan menatap muridnya dengan penuh luka, penuh dosa. "Cahaya...!" Dia memanggil.

"Sakinah mawadah warahmah?" tanya Cahaya sekali lagi. Sedang air mata yang jatuh semakin menjadi-jadi karena luka hati yang begitu dalam.

Seandainya saja dulu Fathan menolak dan memarahi dirinya saat mengatakan bahwa ia akan melamar Fathan, mungkin Cahaya tidak akan se-luka ini. Mungkin rasa sakit yang sekarang ia rasakan tidak akan sedalam ini.

"Ustadz ... selamat berbahagia," ucap Cahaya dengan lirih. Terdengar pilu namun dia mengakhiri dengan sebuah senyuman. Berbanding terbalik dengan apa yang  terjadi di dalam hatinya.

"Maafkan saya, Cahaya," kata Fathan penuh penyesalan.

"Tidak perlu ustadz, Aya yang salah," bantah Cahaya. "Aya yang berharap, Aya yang berjanji."

"Maafkan saya, Cahaya."

***

Guyuran hujan membasahi tubuh bergetar, hati yang sakit dan napas yang sesak. Guntur di langit saling bersahutan menggelegar menggambarkan suasana hati Cahaya. Hujan kian deras, langit pun tampak kelam namun tak ada keinginan bagi gadis itu untuk berteduh.

Terus berjalan seolah tidak ada hujan. Pandangan matanya hanya tertuju jalanan yang akan dia susuri.

Dahulu Cahaya pernah berkata; apabila jatuh cinta, jika ia menggantung harapan kepada Allah. Maka kemungkinannya untuk patah hati hanya 0,5 persen. Dia ingat betapa yakinnya ketika mengucapkan kalimat itu.

Akan tetapi setelah menyaksikan kenyataan ini, setelah mengetahui fakta bahwa Fathan telah menikah dengan seorang perempuan yang bahkan jauh lebih baik dari pada dirinya. Patah hati dan sakit yang awalnya dianggap sepele berbanding terbalik.

Bahkan lebih sakit rasanya.

Tangisannya di redam oleh hujan deras. Keindahan sore hari berubah menjadi gelap yang menakutkan. Tubuh Cahaya menggigil sedangkan jarak rumah masih jauh. Dan dia sama sekali tak ingin  bereteduh.

Sekali lagi petir menyambar, Cahaya memejamkan mata menutupi rasa takut dibalik kesedihannya. Tak lama setelah itu dia merasakan teduh, seperti ada sesuatu yang menghalangi derai hujan yang membasahinya.

"Aya ... Lo ngapain hujan-hujanan?!" Gibran langsung mengomeli dengan nada khawatir. "Lo bisa sakit, Ay!"

Cahaya tak menjawab, dia terus melangkahkan kakinya sehingga Gibran terpaksa mengikuti agar bisa memayunginya.

"Aya! Jawab gue, Ay!" teriak Gibran.

Langkah Cahaya terhenti, dia menoleh pada Gibran dengan sesegukan. Dapat cowok itu lihat wajah yang merah dan mata yang membengkak.

"Astaghfirullah, Aya!" Gibran panik.

Cahaya menatap Fathan dengan sayu ditengah kepanikan cowok itu. Dan perlahan matanya tertutup, tubuhnya lunglai dan terjatuh namun dengan cepat Gibran menahannya agar tidak terjatuh ke bawah. Melepaskan payung yang tadi ia pegang sehingga basahlah tubuhnya.

"Ya Allah, ada apa dengannya?" Gibran bertanya-tanya.

***

Gibran mengantarkan Cahaya ke rumahnya, tak lupa dia juga mengabari Amel dan Audy tentang kondisi Cahaya.

Setibanya di rumah, Rafiah langsung mengganti pakaian cucunya yang basah dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Berharap mendapatkan kehangatan setelah hujan deras yang membuat tubuh itu dingin dan kaku.

Sedangkan Rudi, ayahnya membawakan kompres air hangat dan menaruh pada kening Cahaya karena suhu tubuh putrinya yang tinggi.

Malam ini hujan sudah mulai reda, Amel dan Audy baru saja datang ke rumah Cahaya langsung menuju kamar sahabatnya itu untuk mengetahui kondisi Cahaya.

Pucat.

"Ya Allah, Aya kenapa?" tanya Amel yang tak habis pikir. Dia memperbaiki posisi kompres yang miring pada kepala Cahaya.

"Gue ga tahu, tadi gue ketemu Aya dia sedang hujan-hujanan." Gibran menceritakan yang sejujurnya. "Dan dia ..  menangis."

"Nangis?" Audy langsung heboh tak percaya. "Aya dari arah mana?" tanyanya.

"Dari arah sekolah kita," jawab Gibran.

"Nek! Aya tadi ke sekolah?" tanya Audy memastikan. Dan anggukan Rafiah membuat kedua bola matanya membulat.

"Kenapa, Dy?" tanya Amel yang dibuat penasaran.

"Apa mungkin dia ketemu ustadz Fathan? Ketemu dengan ustadzah Husna dan mengetahui kalau mereka menikah?"

Semua orang disana terkejut mendengar pernyataan Audy. Kemudian menatap Cahaya yang sedang pingsan dengan iba.

"Aya ga tahu kalau ustadz Fathan udah menikah," kata Rafiah memberi tahu. "Dan nenek juga lupa mengatakan sama Aya."

Gibran meraup wajahnya frustrasi. "Sedangkan Aya akan melamar ustadz Fathan setelah mendapat gelar sarjana," beritahunya.

"Kamu tahu darimana?" Rudi bertanya dengan wajah terkejut. Bagaimana bisa orang lain tahu sedangkan dia sebagai orang tua kandung tidak?

"Saya mendengar Cahaya dan ustadz Fathan bicara waktu itu, Om. Di hari kelulusan kita," jelasnya.

Audy memukul kepalanya. "Ini semua salah gue!" Dia menyalahkan dirinya sendiri. "Gue yang biarin Aya jatuh cinta sama ustadz Fathan, gue yang ga ngasih tahu dia kalau sebenarnya ustadz Fathan udah ada calon sejak kita dari SMA! Astaghfirullah, Aya!" Tangis Audy pecah kala itu juga.

"Ustadz Fathan udah punya calon dari SMA?" Amel mengerutkan dahinya, meminta Audy menceritakan lebih jelas maksudnya.

Audy terdiam, dua ragu untuk menjawab. Posisi itu membuat Amel tidak sabar dan mengguncang bahu Audy dengan kuat.

"Lo tahu sesuatu, Dy?! Bilang sama kita!"

***

Gimana rasanya di posisi Aya?
Hmmmm... Sakit ga ya?
Yang pastinya sakit donk.

Setelah bab ini, Nda sendiri mulai bingung mana kisah nyata dan mana yang fiksi.
Nikmati sampai akhir dan tetap support Aya, okay?

Vote manisnya jangan lupaaa 😁

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Where stories live. Discover now