2. GeGaNa (Gelisah, Galau, Merana)

35 0 4
                                    

"Ketika kita terpuruk, yang terpenting bukanlah seberapa cepat bisa kembali bangkit, tetapi kepada siapa kita muarakan segala keterpurukan itu sehingga akhirnya mampu menemukan cahaya yang menuntun kita untuk selalu berada di jalan yang diridhoi olehNya."

Suasana malam ini terasa begitu menyedihkan bagi Siena. Dengan high heels dan gaun sutra selutut yang telah ia siapkan jauh-jauh hari, gadis berpostur tinggi langsing itu berjalan di trotoar sambil menangis. Ketika ia melewati kedai kopi, hatinya tergerak untuk mampir sejenak. Setelah memesan matcha latte kesukaannya dan duduk dengan nyaman, ia memutuskan untuk menelepon Dika, salah satu sahabatnya sedari TK.

"Dika... help!" ucap Siena sambil berurai air mata. Wajah mulus yang tadi dipenuhi riasan kini telah luntur oleh air mata. Kecantikannya seolah sirna dan berganti dengan sorot mata redup dan tak bertenaga.

"Lo kenapa Na?" jawab Dika cemas, tapi tetap berusaha tenang . Saat itu ia yang baru saja merebahkan diri setelah menikmati tayangan bulu tangkis kesukaannya langsung bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur.

"Jemput gue sekarang, Dik! Please ..." Siena menangis lagi dan tangan kanannya berusaha menghapus air mata yang terus saja mengalir.

"Ah, lo sih ngerepotin aja, baru mau rebahan, nih," ujar Dika pura-pura cuek, tapi tubuhnya langsung bangkit dari kasur dan mengambil kunci motor serta jaket yang tergantung di belakang pintu. "Ya udah share loc, deh! Gue jalan sekarang." Bagaimanapun sebagai seorang sahabat ia tak bisa membiarkan Siena sendirian di malam yang semakin larut dalam keadaan menangis. Hanya saja, Dika gengsi mengatakan hal itu pada Siena.

Siena mengembuskan napas lega seraya menutup sambungan telepon setelah sebelumnya berterima kasih. Dika adalah sahabat Siena sejak kecil. Kedua orang tua mereka bersahabat dan sejak dulu berupaya menjodohkan keduanya. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin mengenal satu sama lain, mereka malah semakin merasa illfeel dan usaha perjodohan itu hanya tinggal wacana. Meski begitu, mereka tetap bersahabat dan keduanya berkuliah di kampus yang sama.

Ketika Siena baru saja menghabiskan secangkir matcha latte pesanannya, Dika datang seraya menepuk pundaknya pelan. Tampilannya jauh dari kata rapi tapi masih terlihat good looking dan keren dengan celana pendek selutut dan kaus berlogo klub bola kesukaannya.

"Kenapa sih lo, Na?" tanya Dika seraya menarik kursi di hadapan Siena.

Siena langsung berdiri dan berjalan ke arah keluar. "Ayo ah gue males di sini!"

"Lah, gue baru dateng. Bentar-bentar, gue haus!"

"Yah, udah habis lagi," pekik Dika setelah mengambil cangkir minuman yang ternyata sudah kosong. Lelaki itu lalu buru-buru berjalan membuntuti sahabatnya yang lebih banyak menunduk dari pada memperhatikan jalan. Sesampainya di tempat parkir, Siena menepuk jidat lalu berkacak pinggang.

"Kenapa lo bawa motor butut sih, Dik? Gue kan pake gaun dan high heels gini!" ucap Siena kesal.

"Yaaa mana gue tahu kalo lo pake gaun ama high heels. Lo nya nggak bilang, sih." Dika menjawab sambil mengangkat bahu.

Siena memijit pelipis kepalanya pelan sambil bediri membeku di depan honda supra jadul milik Dika.

"Jadi, mau naik, nggak, nih?" Kalau nggak, gue mau balik. Lagi seru nonton bulu tangkis tadi, tuh," ancam Dika yang sudah siap di depan kemudi.

Siena memukul punggung Andika dengan tas kecilnya lalu naik ke motor dengan sangat terpaksa. "Nggak ada empatinya lo, ya, jadi temen! Bukannya mikirin kenapa gue nangis malah mikirin bulu tangkis!" bentak Siena kesal.

Kalau Cinta, Jangan Kode! Where stories live. Discover now