"Tenan, yo?" Kafa pura-pura hendak pergi.

"Weh becanda-becanda. Kalau gak Kafa siapa lagi yang masak nasi. Masa Reza, masak air aja sering gosong dia."

"Air gosong ki kepiye?" Balas Reza tak terima."Emang, ya, Idham ini logikanya udah kena "

Mereka bertiga pun tertawa.

Celotehan-celotehan dan gelak tawa itu terdengar selama proses memasak.

"Bentar lagi Cak Haikal mau wisuda terus boyong. Fix, sampeyan jadi lurah santri anyar, Kaf," kata Idham tiba-tiba, ia kini sibuk memotong bawang untuk dibuat sambal.

"Ndak, lah. Aku itu anak baru, Dham. Masih banyak yang lebih senior."

"Yo nggak gitu, bukan masalah senior. Sampeyan, kan sekarang yang paling menguasai ilmu, dan paling dekat dengan Pak Kyai juga." Reza setuju dengan Idham, ikut nimbrung.

Kafa memang menjadi santri paling berkembang, entah itu dalam keilmuan maupun dari kedekatannya dengan Kyai Busyro dan keluarga ndalem.

Sekali lagi, adab dan akhlak luhur Kafa pada setiap orang membuatnya begitu dicintai dan disegani. Ketakzimannya kepada para Masyaikh membuatnya mendapatkan perhatian dan kepercayaan.

Kafa juga begitu tawadhu', meski pun seluruh santri komplek tahu kalau dia yang paling menguasai berbagai macam ilmu, bahkan Pak Kyai sendiri juga sudah tahu tentang prestasi-nya yang kerap mendapatkan juara lomba MQK baik tingkat kabupaten maupun provinsi.

Ah, tiba-tiba Kafa teringat tentang telepon dari Ibu-nya semalam. Ibu mengatakan sesuatu tentang wasiat Abah yang belum Kafa ketahui. Juga tentang map berwarna cokelat yang abah titipkan padanya, dan meminta agar dijaga jangan sampai hilang.

Kafa selalu membawa map itu setiap mondok, dan selalu ia simpan dengan hati-hati di lemarinya. Meski begitu, Kafa tak tahu isi dalam map itu. Karena Abah hanya memintanya untuk menjaganya. Sekarang, ia tahu apa alasannya itu. Map itu berisi sesuatu yang mungkin penting, dan mungkin bukan haknya abah.

'Maaf Ibu kelalen, Nang. Sebelumm wafat, selain berwasiat agar kamu mondok di Jogja, Abah juga berpesan, titip salam untuk Pak kyai Mahrus, Bu nyai Nur, dan Bu nyai Siti Fatma. Sekalian, berikan map cokelat yang dulu Abahmu titipkan ke kamu.'

Banyak sekali komplek di pondok Al-Dalhar, jadi Kafa tidak tahu nama-nama yang Abah sebutkan itu pengasuh komplek mana.

"Dham, sampeyan tahu Pak Kyai Mahrus, Bu Nyai Nur sama Bu nyai Siti Fatma, ndak?"

"Tahu, lah," jawab Idham yang memang sejak Mts sudah mondok di sini,"Pak Kyai Mahrus Dalhar dan Bu Nyai Nur itu ayah dan ibunya Bu nyai Fatma. Beliau berdua sudah meninggal. Kalau Bu Nyai Fatma itu yang sekarang jadi pengasuh komplek Sayyida Al-hurra."

Kafa mengangguk-angguk.

"Ada apa emang, Kaf?" Reza yang bertanya ikut penasaran.

"Ndak, almarhum Abahku dulu tinggal di ndalem beliau-beliau. Sebelum wafat, abahku wasiat untuk menyampaikan salamnya pada mereka."

"Oalah," imbuh Reza,"Mau aku temenin sowan ke komplek Sayyida Al-hurra?"

"Wis ketebak," sahut Idham pura-pura menggelengkan kepala.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now