Bab 2. Anak Rembulan

Start from the beginning
                                    

Tak lama, seorang pemuda berwajah tampan dari baris belakang segera mengangkat tangan, seketika itu juga baris depan tersibak.

"Gimana coba, Kaf?"

Pemuda dengan kulit putih dan tampilan sederhana itu tersenyum sesaat ketika mendengar teman-temannya berbisik menggoda. "Tafadhol, ya Syeikh Kafa, waktu dan tempat dipersilahkan."

Kafa kemudian menjawab. "Karena Isim 'kaana' bukan lafadz 'ajwadu' tetapi dhomir mustatir 'huwa' yang kembali kepada Rasulullah SAW. Adapun lafadz 'ajwadu' sampai akhir kalimat dipahami sebagai "khobar" yang berbentuk 'jumlah'. Jadi lafadz 'ajwadu' adalah mubtada-nya, dan 'maa' adalah 'maa mashdariyyah' sementara 'fii romadhoon' adalah khobar 'ajwadu' itu."

Para santri mulai geleng-geleng kepala takjub dengan penjelasan Kafa yang rinci.

"Pancen Syeikh tenan iki," sahut Idham yang langsung disambut gelak tawa para santri.

Sedang, Kafa hanya tersenyum tipis dengan geleng kepala mendengarnya.

"Bagus Mas Kafa." Ustadz Irhaz tampak puas, tapi tak lama, karena tertarik dengan keilmuan Kafa, ia kembali melontarkan sebuah pertanyaan.
"Tapi kira-kira boleh gak lafadz tersebut dibaca Nashob?"

Para santri kembali melempar tatapannya ke arah Kafa. Mereka penasaran apakah kali ini Kafa bisa menjawabnya lagi.

Pemuda itu tampak diam beberapa detik. Mengedarkan bola mata ke suatu arah. Memikirkan sesuatu.

"Mungkin bisa kalau misal Isim 'kaana' adalah dhomir mustatir 'huwa' yang kembali kepada Rasulullah SAW, sementara lafadz 'ajwadu' adalah khobarnya. Lafadz 'maa' dipahami sebagai 'maa zhorfiyyah' yang bermakna 'muddah'."

Sekali lagi, Ustadz Irhaz langsung tersenyum puas mendengar penuturan Kafa tersebut.

"Sampeyan ini sudah berapa bulan di sini?"

"Jalan delapan bulan, Pak," jawab Kafa.

Ustadz Irhaz mengangguk dua kali, lalu mengalihkan pandang ke para santri. "Contoh Mas Kafa ini, jangan malu untuk bertanya kepadanya meski dia masih terbilang baru di sini."

"Siap, Pak Ustadz."

"Iyo, Enggak, Za?" seru Ustadz Irhaz lagi-lagi menggoda Reza.

"Nggih, Pak."

Tak berselang lama kegiatan pengajian itupun ditutup dengan kalimat wallohu a'lam bis-showab.

Begitu ustadz Irhaz turun dari aula, beberapa santri membaringkan dirinya. Ada yang tak sabar langsung turun meniti tangga. Ada yang ke kamar mandi, buru-buru bersiap mandi biar tidak harus ngantri.

Idham, Reza dan Haikal memilih untuk tiduran di karpet aula sambil ngobrol ngalor-ngidul.

Kafa tak jauh dari mereka duduk sambil membuka kembali bukunya, sebuah tulisan karya Kahlil Gibran.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now