Asal Muasal

1 0 0
                                    

Namanya Gendhis. Nama depan Gendhis, nama belakang Gendhis. Hanya Gendhis. Gendhis yang walau parasnya manis seperti namanya, hidupnya tidak berjalan semanis itu.  Otaknya pintar karena dipaksa keadaan. Jika ia tinggal kelas, ibunya akan memukulnya sepanjang malam, kedoknya memberi pelajaran, sebenarnya hanya ingin mencari pelampiasan.

"Buang-buang uang." Katanya sambil satu tangannya bergerak memecut Gendhis sementara tangannya yang lain memeganginya agar tidak kabur.

Setelah kejadian itu, Gendhis belajar mati-matian agar naik kelas. Usahanya ternyata terlalu keras, ia malah jadi bintang kelas. Begitu terus berlarut-larut sampai ia masuk program akselerasi berturut-turut di SMP dan SMA. Ibunya? Cukup senang karena artinya ia bisa menghemat biaya pendidikan.

Walau begitu, segala nilai sempurna yang Gendhis dapatkan tak berarti dimatanya. Tak ada pujian ataupun perayaan saat Gendhis pertama kali meraih peringkat pertama dikelasnya. Bagaimana tidak? Kegiatannya memulung dari jalan ke jalan lebih berarti daripada duduk dikelas untuk menerima rapor anaknya sambil mendengarkan cemeehan orangtua murid lain saat ia menunggu giliran dipanggil. Baginya, yang penting Gendhis naik kelas. Semakin lama Gendhis sekolah, semakin banyak pula biaya yang harus ia keluarkan. Nilai itu hanya sekadar angka. Pada akhirnya, yang berarti adalah uang. Itulah prinsip yang entah sengaja atau tidak, ia tanamkan kepada anak sulungnya, Gendhis.

Jika kebanyakan orangtua berdoa agar anaknya menjadi dokter, insinyur, astronot, pebisnis andal, ibu Gendhis hanya ingin agar anaknya lulus SMA dan segera bekerja. Lebih baik jika ia bisa menikahi seorang lelaki kaya. Terdengar konyol, tapi itu satu-satunya cita-cita yang terpikirkan oleh seorang ibu yang mengurus ketiga anaknya seorang diri disebuah kontrakan dibelakang pasar berukuran 3x3 meter yang amat panas saat kemarau dan lembab saat musim hujan. Segala pahit, susah, pedih yang ia rasakan, yang terlanjur ia bagi kepada anak-anaknya membuatnya tak bisa berharap lebih jauh.

Ibu Gendhis berharap ijazah SMA anaknya dapat membuka pintu kesempatan bagi Gendhis untuk menjadi kasir minimarket. Kuliah bukanlah suatu pilihan bagi Gendhis. Ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menjadi seorang dokter. Jika ditanya apa cita-citanya, setelah lulus SMA ia ingin bekerja di minimal tiga tempat, menjadi kasir diminimarket, menjadi pelayan restoran, dan menjadi tutor belajar sembari mengikuti les gratis untuk menambah soft skillnya. Suatu hari, ia akan membuka warung kecil dengan tabungan yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit setelah dipotong biaya sekolah adik-adiknya. Lalu, dari keuntungan warungnya, ia bermimpi membuka kos-kosan yang diperuntukkan untuk pekerja kerah biru seperti dirinya.

Namun, takdir berkata lain. Diusianya yang ke enam belas, beberapa saat sebelum kelulusannya, ibu yang menjadi panutannya meninggal setelah berhari-hari batuk darah. Tuberkulosis, kata dokter. Dihari-hari terakhirnya, wanita itu bahkan tidak bisa keluar dari kamar karena sesak. Ia menolak segala pengobatan dari fasilitas kesehatan setempat walau gratis. Seakan ia sudah merencanakan dan menantikan kepergiannya.

Kontras dengan kedua adik laki-lakinya, dihari kematian ibunya, tak ada sedikit pun air mata tertumpah atau kesedihan yang meliputi diri Gendhis. Hanya rasa iri yang tersisa. Iri karena ibunya akhirnya terbebas dari kutukan bernama kemiskinan. Iri karena ibunya tak perlu memikirkan apa yang bisa mereka makan untuk hari ini, esok, dan seterusnya. Jika ia tidak memikirkan kedua adiknya dan kepercayaan yang sudah tertanam dalam dirinya sedari kecil, Gendhis pasti sudah nekat menyusul ibunya.

Jika ada hal baik yang dapat diambil dari kematian ibunya, mungkin itu adalah kenyataan bahwa Gendhis bebas memilih masa depannya. Potensi yang dimiliki Gendhis menarik perhatian Eko, guru biologi SMA nya. Tahu bahwa ibu Gendhis yang menghalangi kesempatan muridnya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi sudah tiada, ia diam-diam mendaftarkan Gendhis ke program beasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sesuai prediksinya, Gendhis lolos seleksi awal.

Singkat cerita, setelah segala pergolakan batin dan pertengkaran dengan Pak Eko, Gendhis akhirnya memberanikan diri untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya dari seleksi beasiswa. Tim pewawancara menyukai kisah hidup Gendhis yang menyerupai opera sabun murahan, tragis tapi tidak berujung. Bersama dengan nilai-nilainya yang mendekati sempurna, Gendhis pun diterima sebagai mahasiswa kedokteran disalah satu perguruan tinggi negeri bergengsi.

"Kalau ada kesulitan, bilang sama bapak. Bapak pasti bantu." Ucap Pak Eko menenangkan saat hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Kedua tangannya mencengkram bahu Gendhis dengan erat, mendorongnya untuk percaya.

Sebuah senyum samar terukir diwajah Gendhis. Ia tahu bahwa ia dapat mengandalkan Pak Eko, tetapi tidak bisa terlalu sering. Gaji Pak Eko sebagai guru honorer saja sudah pas-pasan untuk membiayai istri dan kedua anaknya. Gendhis tidak ingin menyulitkan orang yang telah membantunya mengejar mimpinya yang sebenarnya itu. Jadilah ditahun pertama, Gendhis menyambi sebagai tutor murid SMA. Awalnya hanya satu orang murid, adik dari teman seangkatannya. Jumlah itu kemudian berkembang menjadi dua, kemudian tiga.

Setelah bisa mengatur waktu dengan lebih baik, Gendhis kemudian mengambil dua kerja sambilan lain ditahun ke dua. Yang pertama sebagai pelayan café, yang kedua sebagai penjaga warung internet.

Uang yang didapat tiap bulan dari Pak Eko, walau tidak banyak, ia tabung untuk biaya kuliah adik-adiknya kelak. Paling tidak, ia bisa bernafas lebih lega karena seiring berjalannya waktu, terdapat kebijakan wajib belajar dari pemerintah sehingga tak seperti dirinya dulu, ia tak lagi perlu memikirkan biaya bulanan sekolah adik-adiknya. Setidaknya, adik-adiknya cukup pintar dan tahu diri untuk menjaga nilai mereka agar bisa terus bersekolah di sekolah negeri.

Namanya Gendhis, gadis yang dipaksa dewasa sebelum waktunya, yang tidak memiliki tempat bergantung, yang hanya memiliki segelintir teman di kampus karena terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, yang hanya tidur empat, maksimal lima jam setiap harinya. Gendhis yang selalu memiliki rambut bob pendek agar dapat menghemat sampo, yang selalu membeli sampo dalam ukuran saset yang bisa ia pakai lima kali.

Gendhis, yang hidupnya tak semanis namanya, yang tidak pernah berharap hidupnya akan semanis namanya, setidaknya sebelum pertemuan itu terjadi.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Nov 06, 2021 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

GiungDonde viven las historias. Descúbrelo ahora