4. Menuju Kebebasan

10 3 0
                                    

Di sebuah kamar dengan dekorasi berwarna putih abu abu, miror. Witta terduduk dipinggiran ranjang sambil meratapi nasib nya, terjebak dan terkekang dalam cinta mantan kekasih nya sendiri. Ia ingin pergi sejauh mungkin, ingin bebas dari rumah ini. Tapi apalah daya jika belum bisa bertindak jauh, dengan memandangi layar handphone nya yang ternotice email dari satu sekolah SMA ternama.

"Apa gue terima tawaran sekolah ini aja? walaupun gue nanti kebebani tugas dan saingan yang banyak, tapi seenggak nya gue bisa bebas dari kak Sanka," ucap Witta dalam hati, berpikir.

Sudah cukup lama Witta berpikir, akhirnya Ia lebih memilih bebas dan jauh dari rumah. Ia sudah memutuskan akan masuk asrama dan bersekolah di SMA tersebut. "Udah gue putusin gue terima beasiswa ini," ucap Witta dengan memantapkan hati. "Gue harus beri tahu ini sama kak Nael, gue suruh dia buat tanda tangan aja, beres!" senang Witta.

Witta berdiri dan berjalan keluar kamar, menuruni tangga dan mencari keberadaan kakak sepupu nya itu. Sempat melihat jam dinding yang menunjukan pukul 7 malam, artinya Sanka belum pulang kerja jam segini.

"Kak Naeeeell!" panggil Witta setengah berteriak duduk disofa ruang tv.

"Apa?" secara kebetulan ternyata Naely tengah menyusui bayi imut nya duduk di soffa depan tv.

"Eh kak Nael hehe," sapa Witta tiba tiba baik.

Naely mengernyit, maksud anak gadis ini apa coba tiba tiba datang nyengir kuda. "Ada apa? perlu sesuatu? biasanya kalau kayak gini lagi ada mau nya," tanya Naely.

"Ih kak Nael tahu aja," sahut Witta malu malu, refleks Naely memutar bola mata nya malas.

Putri kecil nya sudah tertidur dipangkuan, menutup akses bagian depan Naely membaringkan anak nya tersebut di sofa beralas selimut tebal. Pandangan nya tertuju pada Witta yang masih cengengesan tidak jelas pada nya, sudah biasa Ia mendapat perlakuan baik dari gadis itu saat Witta ada mau nya.

"Kau butuh uang lagi?" tebak Naely mendapat gelengan cepat dari Witta.

"Lalu?" Naely mengernyit.

Sebelum mengungkapkan keinginan nya, Witta terlebih dulu menghela napas dalam lalu menghembus kan nya kembali. "Ini!" Witta menyodorkan handphone yang menyala diatas meja didepan Naely.

"Apa ini?" tanya Naely mengambil handphone Witta didepan nya, terlihat layar handphone berlogo duren itu memperlihatkan layar gmail dengan sebuah pesan menarik perhatian nya.

"Kau mendapat beasiswa diSMA Populer ini? kau serius?" tanya Naely seakan tak percaya, padahal bukti nya sudah jelas ada di depan mata.

Witta mengangguk.

"Tapi bagaimana bisa? aku dulu mati matian mendaftar ke sekolah ini, tapi pihak sekolah sana tidak pernah menerima pendaftaran ku. Dan sekarang kau diberi Beasiswa cuma cuma? bagaimana bisa!" pekik Naely tersenyum senang.

"Gue mau lo buat tanda tangan digital, sisanya biar gue yang urus. Ouh iya kak satu lagi, gue mau lo rahasian ini dari kak Sanka, gue gak mau dia sampai tahu dan berakhir cegah gue pergi dari sini," Witta.

"Maksud mu pergi?" tanya Naely.

"Gue niat nya mau asrama aja, biar sekalian gak capek bolak balik naik kereta. Dengan begitu juga lo punya waktu sama kak Sanka buat pikirin masa depan kalian, apalagi sekarang kan ada anak lo sama kak Sanka," jawab Witta tersenyum lembut.

"Kamu ngomong apa si Wit? mau kamu pergi ataupun enggak dari kehidupan Sanka, tetap gak akan bisa kakak nempatin hatinya. Lagi pula kakak gak cinta sama Sanka, selama ini kakak bertahan itu cuman buat Lera, anak kakak. Kakak cuma gak mau dia gak punya Ayah saat lahir, saat Sanka ngasih surat cerai, kakak pasti akan langsung tanda tangan," ujar Naely menolak usulan Witta untuknya.

Witta sendiri terdiam duduk memikirkan sesuatu, jujur Ia kini harus lebih berhati hati. Karena jika Sanka dan Naely berpisah, artinya lelaki itu gencar mengincar Witta semakin cepat. Witta sudah kecewa dengannya, Ia tak mau berhubungan lagi dengan Sanka.

"Kak, gue mau cepet cepet berangkat keasrama," ucap Witta.

"Kakak ngerti, apapun keputusan kamu kakak dukung." sahut Naely.

****

Pagi hari keesokannya, kini Witta sedang berada dikamar, baru saja menyelesaikan pendaftaran sekolah lewat basis online dilaptop. Jika seperti ini Sanka tidak akan mengetahui tindakan Witta yang tidak berunding dengannya, Ia sudah memutuskan untuk pergi secara diam diam dari lelaki itu. Sudah muak Witta hidup dibayang bayangi oleh Sanka, Ia ingin hidup normal mulai sekarang.

"Sorry kak Sanka, Witta sayang sama kak Sanka, tapi sikap kak Sanka yang buat Witta ngelakuin ini," gumam Witta terdengar pedih.

Sekuat apapun kebenciannya pada pria itu, tetap saja cintanya lebih kuat. Rasa pedih dihatinya saat membayangkan jauh dari Sanka membuat Witta tak sadar meneteskan air mata, cinta yang Ia kira awalnya hanya sekedar cinta monyet ini ternyata berlangsung lama. Rasa yang Ia damba pada Sanka begitu menggebu gebu, tapi semakin lama Ia hanya menjadi pemlampiasan dari pria itu.

Karena merasa tenggorokannya kering, Witta berjalan keluar kamar, niatnya sekarang adalah kedapur, mengambil air dan jus serta bisquit dari kulkas. Tangga rumah yang licin habis dipel terlihat mengkilap, kaki Witta yang hanya beralas sendal lantai terlihat sudah berada dianak tangga.

Berjalan keadah dapur yang tak jauh dari posisinya, dapur rumahnya berada dalam satu ruangan dengan ruang santai keluarga. Saat tangan Witta sedang mengambil gelas dari rak, tak sengaja matanya melihat lelaki diruang tv tersebut tengah memeluk Naely dan anaknya.

"Kak Naely!" panggil Witta menyimpan kembali gelasnya, menghampiri Naely disofa dengan televisi.

"Dia siapa?" tanya Witta mengerutkan dahi tak suka, berdiri didepan mereka.

Naely terlihat sedikit terkejut, tak lama ekspresinya sudah mulai normal. "Ini Dafa, temen kakak waktu SMA" jawab Naely.

"Hah?"

"Hi, kamu Witta sepupunya Naely ya? kenalin saya Derafa dafa, temen semasa SMA sepupu kamu," jelas lelaki tersebut.

"Gue gak nanya lo," balas Witta ketus pada Dafa. "Bener cuma temen? kok pelukan ya? kalau kak Sanka tahu nanti, pasti dia bakal salah paham tahu kak," sindir Witta pada Naely.

"Ada apa ini?" baru juga dibicarakan pria itu sudah berdiri menarik pinggang Witta secara possesive.

"Sanka-eh kak Sanka?" Witta.

Sanka melihat pria yang duduk bersama Naely itu berdiri, Naely pun ikut berdiri sambil menggendong anaknya. Kernyitan dahi dari Sanka membuat Naely ketar ketir, bagaimana pun juga Ia merasa bersalah karena membawa seorang pria asing kerumah mereka, apalagi status Naely masih menjadi Istri sah dari pria itu.

"Sanka.." kikuk Naely.

"Siapa dia?" sama halnya pertanyaan Witta, dari sini Witta yang berada didekat Sanka merasa hidungnya mencium bau aneh dari mulut Sanka. Bukan bau busuk, tapi bau alkohol.

"Sanka mabuk?" batin Witta.

_____

Yeay Update! gimana? sampai sini kalian suka gak alur ceritanya? kalau ada typo atau sesuatu yang menurut kalian kurang, komend ya. Jangan lupa Vote dan + Library ya..

See you next to part change^^

GOD-CCWhere stories live. Discover now